Bali Larang Air Minum Kemasan Kecil, Bukan Sekadar Gaya-Gayaan, Ini Alasan Seriusnya!
Jakarta, Sofund.news – Siapa yang tak terpukau dengan pesona Bali? Pulau yang dikenal dengan keindahan alamnya, kekayaan budaya, dan pantai-pantai yang memikat wisatawan dari seluruh dunia ini seolah tak pernah kehilangan daya tariknya. Namun, di balik kemilau pariwisata dan foto-foto indah yang kerap menghiasi media sosial, Bali tengah menghadapi persoalan serius yang kerap luput dari sorotan: krisis sampah plastik.
Sebagai bentuk tanggung jawab terhadap kondisi lingkungan yang kian memburuk, Gubernur Bali, Wayan Koster, baru-baru ini mengeluarkan kebijakan penting yang melarang peredaran Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) berukuran kecil, seperti gelas 220 ml dan botol 600 ml. Kebijakan ini bukan sekadar simbolik, melainkan langkah konkret dalam mengatasi salah satu sumber utama sampah plastik sekali pakai yang sulit dikelola.
Data dari Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Bali tahun 2024 mencatat bahwa Bali menghasilkan sekitar 1,2 juta ton sampah per tahun, dengan sekitar 303 ribu ton di antaranya merupakan sampah plastik. Ironisnya, hanya sekitar 7% dari jumlah tersebut yang berhasil didaur ulang. Sisanya berakhir mencemari lingkungan, termasuk ekosistem laut yang sangat vital bagi keberlanjutan sektor pariwisata dan kehidupan masyarakat pesisir.
Laporan dari Sungai Watch—lembaga yang fokus pada kebersihan sungai—mengungkap bahwa sekitar 70% sampah plastik yang mencemari sungai-sungai di Bali berasal dari plastik sekali pakai, dan sebagian besar di antaranya adalah AMDK kecil. Ukurannya yang kecil membuatnya mudah tercecer, sulit dikumpulkan, dan kurang ekonomis untuk didaur ulang. Akibatnya, limbah ini menyumbang secara signifikan terhadap pencemaran lingkungan.
Kebijakan Gubernur Koster selaras dengan pendekatan Three Doors of Integrated Waste Management: perubahan perilaku (habit management), pengendalian dari sumber (source management), dan pengelolaan limbah (waste management). Dengan menyasar dua pintu pertama, kebijakan ini menargetkan perubahan pola konsumsi masyarakat dan pencegahan limbah sejak awal produksi.
Organisasi lingkungan seperti UNEP (United Nations Environment Programme) telah menunjukkan bahwa upaya pencegahan di hulu bisa 2 hingga 5 kali lebih efektif dibandingkan penanganan limbah di akhir. Artinya, larangan AMDK kecil bukan hanya langkah preventif yang cerdas, tetapi juga berpotensi menjadi game changer dalam kebijakan lingkungan nasional.
Kebijakan ini juga sejalan dengan prinsip Extended Producer Responsibility (EPR), yang menuntut produsen bertanggung jawab atas limbah produk mereka. Negara-negara seperti Jerman dan Korea Selatan telah membuktikan keberhasilan pendekatan ini dengan tingkat daur ulang kemasan plastik yang melampaui 60%.
Meski demikian, kebijakan ini tidak lepas dari tantangan, terutama dari kalangan industri. Padahal, studi dari Universitas Maryland menunjukkan bahwa transisi menuju ekonomi sirkular dapat menciptakan peluang ekonomi baru, mulai dari sektor daur ulang hingga inovasi kemasan isi ulang. Ini bukan sekadar tentang penyelamatan lingkungan, tetapi juga tentang membuka jalur pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan.
Bali mungkin menjadi daerah pertama yang memberlakukan larangan AMDK kecil, namun semestinya bukan menjadi satu-satunya. Jika daerah lain mengikuti langkah serupa, dampaknya bisa sangat signifikan. Laporan dari Pew Charitable Trusts memperkirakan bahwa jika pendekatan seperti ini diterapkan secara global, maka jumlah sampah plastik di lautan dapat berkurang hingga 80% dalam kurun waktu 20 tahun ke depan.
Dalam konteks ini, Samuel JD Wattimena, Anggota DPR RI Komisi VII Fraksi PDI Perjuangan, memberikan pernyataan tegas yang menguatkan urgensi kebijakan tersebut:
“Krisis sampah plastik di Bali bukanlah isapan jempol atau sekadar kekhawatiran aktivis lingkungan. Ini adalah persoalan struktural yang telah lama menggerogoti fondasi ekosistem dan pariwisata kita. Ketika data dan riset menunjukkan bahwa Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) kecil menjadi salah satu penyumbang terbesar sampah plastik sekali pakai, maka pelarangan terhadapnya bukan hanya tepat, melainkan sebuah bentuk kepemimpinan ekologis yang visioner dan bertanggung jawab. Kita tidak bisa lagi menunggu bencana ekologis baru untuk bertindak. Indonesia membutuhkan lebih banyak kebijakan berani seperti ini—bukan sekadar kosmetik hijau yang manis di permukaan namun kosong di dalam. Sudah saatnya kita hentikan pola pikir business as usual yang destruktif, dan mulai membangun arah pembangunan yang selaras dengan keberlanjutan. Bali telah menunjukkan bahwa keberanian mengambil langkah tak populer bisa menjadi jalan menuju masa depan yang lebih sehat dan berkeadilan ekologis.”
Pernyataan tersebut menggambarkan dengan jelas bahwa kebijakan seperti yang dilakukan Bali tidak hanya layak didukung, tetapi juga harus direplikasi secara nasional. Kita tidak sedang bicara tentang sekadar pelarangan, melainkan tentang keberanian mengambil langkah transformatif demi masa depan bumi yang lebih layak huni.
Karena itu, peran serta masyarakat menjadi sangat penting. Kita semua dapat ikut ambil bagian dalam perubahan ini: mulai dari mengganti botol plastik sekali pakai dengan tumbler isi ulang, memilih produk-produk ramah lingkungan, hingga memberikan dukungan terhadap kebijakan yang berani dan berpihak pada keberlanjutan.
Saatnya kita bersama menjaga warisan alam Bali dan bumi kita dari krisis yang tak lagi bisa diabaikan. Karena menjaga lingkungan bukan hanya tugas pemerintah, tetapi tanggung jawab kita semua. (Courtesy picture: Dokumentasi Rumah Aspirasi Samuel Wattimena)
Bali Larang Air Minum Kemasan Kecil, Bukan Sekadar Gaya-Gayaan, Ini Alasan Seriusnya!
Jakarta, Sofund.news – Siapa yang tak terpukau dengan pesona Bali? Pulau yang dikenal dengan keindahan alamnya, kekayaan budaya, dan pantai-pantai yang memikat wisatawan dari seluruh dunia ini seolah tak pernah kehilangan daya tariknya. Namun, di balik kemilau pariwisata dan foto-foto indah yang kerap menghiasi media sosial, Bali tengah menghadapi persoalan serius yang kerap luput dari sorotan: krisis sampah plastik.
Sebagai bentuk tanggung jawab terhadap kondisi lingkungan yang kian memburuk, Gubernur Bali, Wayan Koster, baru-baru ini mengeluarkan kebijakan penting yang melarang peredaran Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) berukuran kecil, seperti gelas 220 ml dan botol 600 ml. Kebijakan ini bukan sekadar simbolik, melainkan langkah konkret dalam mengatasi salah satu sumber utama sampah plastik sekali pakai yang sulit dikelola.
Data dari Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Bali tahun 2024 mencatat bahwa Bali menghasilkan sekitar 1,2 juta ton sampah per tahun, dengan sekitar 303 ribu ton di antaranya merupakan sampah plastik. Ironisnya, hanya sekitar 7% dari jumlah tersebut yang berhasil didaur ulang. Sisanya berakhir mencemari lingkungan, termasuk ekosistem laut yang sangat vital bagi keberlanjutan sektor pariwisata dan kehidupan masyarakat pesisir.
Laporan dari Sungai Watch—lembaga yang fokus pada kebersihan sungai—mengungkap bahwa sekitar 70% sampah plastik yang mencemari sungai-sungai di Bali berasal dari plastik sekali pakai, dan sebagian besar di antaranya adalah AMDK kecil. Ukurannya yang kecil membuatnya mudah tercecer, sulit dikumpulkan, dan kurang ekonomis untuk didaur ulang. Akibatnya, limbah ini menyumbang secara signifikan terhadap pencemaran lingkungan.
Kebijakan Gubernur Koster selaras dengan pendekatan Three Doors of Integrated Waste Management: perubahan perilaku (habit management), pengendalian dari sumber (source management), dan pengelolaan limbah (waste management). Dengan menyasar dua pintu pertama, kebijakan ini menargetkan perubahan pola konsumsi masyarakat dan pencegahan limbah sejak awal produksi.
Organisasi lingkungan seperti UNEP (United Nations Environment Programme) telah menunjukkan bahwa upaya pencegahan di hulu bisa 2 hingga 5 kali lebih efektif dibandingkan penanganan limbah di akhir. Artinya, larangan AMDK kecil bukan hanya langkah preventif yang cerdas, tetapi juga berpotensi menjadi game changer dalam kebijakan lingkungan nasional.
Kebijakan ini juga sejalan dengan prinsip Extended Producer Responsibility (EPR), yang menuntut produsen bertanggung jawab atas limbah produk mereka. Negara-negara seperti Jerman dan Korea Selatan telah membuktikan keberhasilan pendekatan ini dengan tingkat daur ulang kemasan plastik yang melampaui 60%.
Meski demikian, kebijakan ini tidak lepas dari tantangan, terutama dari kalangan industri. Padahal, studi dari Universitas Maryland menunjukkan bahwa transisi menuju ekonomi sirkular dapat menciptakan peluang ekonomi baru, mulai dari sektor daur ulang hingga inovasi kemasan isi ulang. Ini bukan sekadar tentang penyelamatan lingkungan, tetapi juga tentang membuka jalur pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan.
Bali mungkin menjadi daerah pertama yang memberlakukan larangan AMDK kecil, namun semestinya bukan menjadi satu-satunya. Jika daerah lain mengikuti langkah serupa, dampaknya bisa sangat signifikan. Laporan dari Pew Charitable Trusts memperkirakan bahwa jika pendekatan seperti ini diterapkan secara global, maka jumlah sampah plastik di lautan dapat berkurang hingga 80% dalam kurun waktu 20 tahun ke depan.
Dalam konteks ini, Samuel JD Wattimena, Anggota DPR RI Komisi VII Fraksi PDI Perjuangan, memberikan pernyataan tegas yang menguatkan urgensi kebijakan tersebut:
“Krisis sampah plastik di Bali bukanlah isapan jempol atau sekadar kekhawatiran aktivis lingkungan. Ini adalah persoalan struktural yang telah lama menggerogoti fondasi ekosistem dan pariwisata kita. Ketika data dan riset menunjukkan bahwa Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) kecil menjadi salah satu penyumbang terbesar sampah plastik sekali pakai, maka pelarangan terhadapnya bukan hanya tepat, melainkan sebuah bentuk kepemimpinan ekologis yang visioner dan bertanggung jawab. Kita tidak bisa lagi menunggu bencana ekologis baru untuk bertindak. Indonesia membutuhkan lebih banyak kebijakan berani seperti ini—bukan sekadar kosmetik hijau yang manis di permukaan namun kosong di dalam. Sudah saatnya kita hentikan pola pikir business as usual yang destruktif, dan mulai membangun arah pembangunan yang selaras dengan keberlanjutan. Bali telah menunjukkan bahwa keberanian mengambil langkah tak populer bisa menjadi jalan menuju masa depan yang lebih sehat dan berkeadilan ekologis.”
Pernyataan tersebut menggambarkan dengan jelas bahwa kebijakan seperti yang dilakukan Bali tidak hanya layak didukung, tetapi juga harus direplikasi secara nasional. Kita tidak sedang bicara tentang sekadar pelarangan, melainkan tentang keberanian mengambil langkah transformatif demi masa depan bumi yang lebih layak huni.
Karena itu, peran serta masyarakat menjadi sangat penting. Kita semua dapat ikut ambil bagian dalam perubahan ini: mulai dari mengganti botol plastik sekali pakai dengan tumbler isi ulang, memilih produk-produk ramah lingkungan, hingga memberikan dukungan terhadap kebijakan yang berani dan berpihak pada keberlanjutan.
Saatnya kita bersama menjaga warisan alam Bali dan bumi kita dari krisis yang tak lagi bisa diabaikan. Karena menjaga lingkungan bukan hanya tugas pemerintah, tetapi tanggung jawab kita semua. (Courtesy picture: Dokumentasi Rumah Aspirasi Samuel Wattimena)