Misteri Pernikahan Arwah Tradisi Kuno yang Masih Bertahan

Last Updated: March 7, 2025By Tags: ,

Sofund.news – Pernikahan arwah atau yang sering disebut sebagai “ghost marriage” merupakan tradisi yang telah diwariskan selama berabad-abad di berbagai negara, termasuk China. Ritual ini melibatkan pernikahan bagi mereka yang telah meninggal dan masih dipraktikkan dalam budaya tertentu, termasuk dalam masyarakat Tionghoa. Bahkan, tradisi ini menarik perhatian hingga diadaptasi dalam film-film Indonesia yang mengangkat kisah pernikahan hantu.

Menurut cerita rakyat China, pernikahan arwah pada zaman kuno sering dilakukan oleh keluarga bangsawan atau kaya. Misalnya, jika seorang putri meninggal pada usia pernikahan, keluarganya akan mencari pasangan yang dianggap cocok untuknya dengan bantuan seorang mak comblang. Tujuan utama dari tradisi ini adalah memastikan bahwa arwah orang yang meninggal tidak merasa kesepian di alam baka.

Sejarah pernikahan arwah dapat ditelusuri dalam buku klasik Konfusianisme, Zhou Li, yang mencatat jabatan resmi bernama méishì (媒氏), yang bertugas memediasi pernikahan, termasuk pernikahan bagi mereka yang telah meninggal. Dalam buku tersebut disebutkan bahwa pernikahan arwah sering melibatkan pemindahan makam dan penguburan kembali jenazah bersama pasangannya. Ritual ini juga dikenal sebagai qiānzàng (迁葬) yang berarti memindahkan jenazah untuk dikuburkan bersama, serta jiàshāng (嫁殇), yaitu pernikahan bagi mereka yang meninggal muda.

Salah satu catatan sejarah paling terkenal mengenai pernikahan arwah terjadi pada zaman Tiga Kerajaan (The History of Three Kingdoms), ketika putri Kaisar Ming dan anak laki-laki Cao Cao menjalani pernikahan arwah. Saat itu, istilah mínghūn (冥婚) belum digunakan untuk menyebut tradisi ini. Sebaliknya, pernikahan arwah lebih sering disebut sebagai hezàng atau “penguburan gabungan,” yang menekankan unsur pemakaman dalam upacara tersebut.

Ada beberapa alasan mengapa pernikahan arwah masih terus dilakukan di China dan komunitas Tionghoa. Salah satu keyakinan utama adalah bahwa seseorang yang meninggal dalam keadaan lajang akan merasa kesepian di alam baka. Diyakini bahwa roh mereka tidak akan tenang dan bisa membawa gangguan bagi keluarga yang masih hidup, seperti menyebabkan penyakit atau masalah lainnya. Oleh karena itu, ritual pernikahan arwah dilakukan sebagai upaya untuk menenangkan arwah mereka dan menghindari bencana bagi keluarga yang ditinggalkan.

Selain itu, kepercayaan tradisional Tionghoa juga menyatakan bahwa seseorang yang belum menikah ketika meninggal belum merasakan kehidupan sepenuhnya. Hal ini menciptakan ketidakseimbangan energi yin dan yang dalam kosmologi Tionghoa, yang bisa menyebabkan roh mereka menjadi marah dan tidak memiliki tempat untuk beristirahat. Demi menjaga harmoni dan keseimbangan, keluarga yang ditinggalkan merasa perlu untuk mengatur pernikahan bagi arwah tersebut.

Faktor lain yang turut mempengaruhi praktik ini adalah sistem patriarki dalam budaya China kuno, yang menganggap pernikahan sebagai elemen penting dalam melanjutkan garis keturunan keluarga. Dalam beberapa kasus, keluarga mengatur pernikahan arwah untuk memastikan bahwa seorang pria yang telah meninggal tetap memiliki istri yang dapat menjadi bagian dari silsilah keluarganya.

Meski terdengar aneh bagi sebagian orang, pernikahan arwah masih menjadi bagian dari tradisi yang bertahan di beberapa wilayah, meskipun jumlah praktiknya terus berkurang seiring perubahan zaman. Fenomena ini mencerminkan bagaimana kepercayaan akan kehidupan setelah kematian dan keseimbangan spiritual masih menjadi bagian penting dalam budaya masyarakat tertentu. (Courtsey Picture : Ilustrasi Penulis)

Misteri Pernikahan Arwah Tradisi Kuno yang Masih Bertahan

Last Updated: March 7, 2025By Tags: ,

Sofund.news – Pernikahan arwah atau yang sering disebut sebagai “ghost marriage” merupakan tradisi yang telah diwariskan selama berabad-abad di berbagai negara, termasuk China. Ritual ini melibatkan pernikahan bagi mereka yang telah meninggal dan masih dipraktikkan dalam budaya tertentu, termasuk dalam masyarakat Tionghoa. Bahkan, tradisi ini menarik perhatian hingga diadaptasi dalam film-film Indonesia yang mengangkat kisah pernikahan hantu.

Menurut cerita rakyat China, pernikahan arwah pada zaman kuno sering dilakukan oleh keluarga bangsawan atau kaya. Misalnya, jika seorang putri meninggal pada usia pernikahan, keluarganya akan mencari pasangan yang dianggap cocok untuknya dengan bantuan seorang mak comblang. Tujuan utama dari tradisi ini adalah memastikan bahwa arwah orang yang meninggal tidak merasa kesepian di alam baka.

Sejarah pernikahan arwah dapat ditelusuri dalam buku klasik Konfusianisme, Zhou Li, yang mencatat jabatan resmi bernama méishì (媒氏), yang bertugas memediasi pernikahan, termasuk pernikahan bagi mereka yang telah meninggal. Dalam buku tersebut disebutkan bahwa pernikahan arwah sering melibatkan pemindahan makam dan penguburan kembali jenazah bersama pasangannya. Ritual ini juga dikenal sebagai qiānzàng (迁葬) yang berarti memindahkan jenazah untuk dikuburkan bersama, serta jiàshāng (嫁殇), yaitu pernikahan bagi mereka yang meninggal muda.

Salah satu catatan sejarah paling terkenal mengenai pernikahan arwah terjadi pada zaman Tiga Kerajaan (The History of Three Kingdoms), ketika putri Kaisar Ming dan anak laki-laki Cao Cao menjalani pernikahan arwah. Saat itu, istilah mínghūn (冥婚) belum digunakan untuk menyebut tradisi ini. Sebaliknya, pernikahan arwah lebih sering disebut sebagai hezàng atau “penguburan gabungan,” yang menekankan unsur pemakaman dalam upacara tersebut.

Ada beberapa alasan mengapa pernikahan arwah masih terus dilakukan di China dan komunitas Tionghoa. Salah satu keyakinan utama adalah bahwa seseorang yang meninggal dalam keadaan lajang akan merasa kesepian di alam baka. Diyakini bahwa roh mereka tidak akan tenang dan bisa membawa gangguan bagi keluarga yang masih hidup, seperti menyebabkan penyakit atau masalah lainnya. Oleh karena itu, ritual pernikahan arwah dilakukan sebagai upaya untuk menenangkan arwah mereka dan menghindari bencana bagi keluarga yang ditinggalkan.

Selain itu, kepercayaan tradisional Tionghoa juga menyatakan bahwa seseorang yang belum menikah ketika meninggal belum merasakan kehidupan sepenuhnya. Hal ini menciptakan ketidakseimbangan energi yin dan yang dalam kosmologi Tionghoa, yang bisa menyebabkan roh mereka menjadi marah dan tidak memiliki tempat untuk beristirahat. Demi menjaga harmoni dan keseimbangan, keluarga yang ditinggalkan merasa perlu untuk mengatur pernikahan bagi arwah tersebut.

Faktor lain yang turut mempengaruhi praktik ini adalah sistem patriarki dalam budaya China kuno, yang menganggap pernikahan sebagai elemen penting dalam melanjutkan garis keturunan keluarga. Dalam beberapa kasus, keluarga mengatur pernikahan arwah untuk memastikan bahwa seorang pria yang telah meninggal tetap memiliki istri yang dapat menjadi bagian dari silsilah keluarganya.

Meski terdengar aneh bagi sebagian orang, pernikahan arwah masih menjadi bagian dari tradisi yang bertahan di beberapa wilayah, meskipun jumlah praktiknya terus berkurang seiring perubahan zaman. Fenomena ini mencerminkan bagaimana kepercayaan akan kehidupan setelah kematian dan keseimbangan spiritual masih menjadi bagian penting dalam budaya masyarakat tertentu. (Courtsey Picture : Ilustrasi Penulis)