Harga Emas Terpeleset di Tengah Badai Tarif Global dan Ancaman Resesi: Saatnya Reposisi Investasi?
Jakarta, Sofund.news – Harga emas mengalami penurunan tajam lebih dari dua persen pada perdagangan hari Senin, seiring ketidakpastian ekonomi global yang kian menguat akibat kebijakan tarif agresif dari Amerika Serikat. Dalam kondisi tersebut, para investor cenderung mengalihkan dana mereka ke mata uang dolar AS, franc Swiss, dan yen Jepang sebagai bentuk perlindungan terhadap volatilitas pasar.
Mengutip laporan CNBC pada Selasa, 8 April 2025, harga emas di pasar spot turun sebesar 2,4% menjadi USD 2.963,19 per ons pada pukul 13:36 waktu ET. Penurunan ini terjadi setelah sebelumnya menyentuh level terendah dalam empat minggu terakhir di USD 2.955,89. Sementara itu, harga emas berjangka di AS juga terkoreksi 2% dan ditutup pada posisi USD 2.973,60 per ons.
Penurunan harga ini tidak lepas dari gejolak pasar yang ditimbulkan oleh langkah Presiden AS Donald Trump dalam menerapkan paket tarif besar-besaran, yang memicu kekhawatiran akan terjadinya resesi global. Para analis menilai bahwa langkah investor beralih ke aset yang dianggap lebih likuid dan aman merupakan respons atas potensi koreksi tajam di berbagai instrumen keuangan.
Meningkatnya kekuatan dolar AS turut memperburuk posisi emas, karena logam mulia ini menjadi lebih mahal bagi pemegang mata uang lain. Selain itu, tekanan dari margin dan likuiditas yang terbatas memaksa para spekulan untuk melakukan penjualan emas dalam jumlah besar, sehingga menambah tekanan pada harga.
Di sisi lain, ancaman tarif 50% yang disuarakan Trump terhadap Tiongkok membuat situasi semakin memanas. Gedung Putih membantah laporan bahwa pemerintah AS akan menunda tarif selama 90 hari untuk negara-negara selain Tiongkok, menyebut informasi tersebut sebagai “berita palsu.”
Gejolak ini membuat pasar saham mengalami tekanan luar biasa. Indeks utama seperti S&P 500 jatuh 9% dalam sepekan terakhir—penurunan mingguan tertajam sejak pandemi COVID-19. Ketidakpastian ekonomi, ancaman inflasi tinggi, dan risiko resesi global membuat investor semakin waspada.
Namun demikian, meski emas mengalami koreksi dalam beberapa hari terakhir, daya tahannya tetap terlihat. Harga emas masih berada di atas level psikologis penting yaitu USD 3.000 per ons, dan penurunan ini justru dinilai sebagai peluang investasi jangka panjang oleh banyak pelaku pasar.
Tren pengalihan cadangan devisa oleh bank sentral dari dolar AS ke emas semakin menguat, terutama karena kekhawatiran bahwa kebijakan proteksionis AS akan membuat negara lain mencari alternatif mitra dagang yang lebih stabil. Dalam konteks ini, emas kembali menegaskan posisinya sebagai aset moneter global yang tidak terikat pada risiko politik satu negara.
Sementara emas masih bertahan sebagai pilihan utama, nasib berbeda dialami oleh logam mulia lainnya, terutama perak. Harga perak anjlok hampir 14% dalam satu minggu terakhir, turun di bawah USD 30 per ons. Penurunan ini sebagian besar disebabkan oleh tingginya ketergantungan perak pada permintaan sektor industri, yang sangat rentan terhadap perlambatan ekonomi global.
Rasio harga emas terhadap perak kini melonjak di atas 100—angka tertinggi sejak Juni 2020. Ini menunjukkan bahwa emas saat ini jauh lebih disukai oleh investor dibandingkan perak. Meskipun begitu, para analis masih menaruh harapan pada perak dalam jangka panjang, terutama karena tren global menuju elektrifikasi dan energi bersih yang diperkirakan akan kembali menghidupkan permintaan.
Minggu ini menjadi salah satu yang paling bergolak dalam sejarah pasar keuangan dunia, namun logam mulia tetap menjadi indikator utama arah pergerakan pasar. Emas, meski tergelincir, masih menunjukkan kekuatannya sebagai aset aman di tengah badai ketidakpastian.(Courtesy picture:ilustrasi gambar harga emas)
Harga Emas Terpeleset di Tengah Badai Tarif Global dan Ancaman Resesi: Saatnya Reposisi Investasi?
Jakarta, Sofund.news – Harga emas mengalami penurunan tajam lebih dari dua persen pada perdagangan hari Senin, seiring ketidakpastian ekonomi global yang kian menguat akibat kebijakan tarif agresif dari Amerika Serikat. Dalam kondisi tersebut, para investor cenderung mengalihkan dana mereka ke mata uang dolar AS, franc Swiss, dan yen Jepang sebagai bentuk perlindungan terhadap volatilitas pasar.
Mengutip laporan CNBC pada Selasa, 8 April 2025, harga emas di pasar spot turun sebesar 2,4% menjadi USD 2.963,19 per ons pada pukul 13:36 waktu ET. Penurunan ini terjadi setelah sebelumnya menyentuh level terendah dalam empat minggu terakhir di USD 2.955,89. Sementara itu, harga emas berjangka di AS juga terkoreksi 2% dan ditutup pada posisi USD 2.973,60 per ons.
Penurunan harga ini tidak lepas dari gejolak pasar yang ditimbulkan oleh langkah Presiden AS Donald Trump dalam menerapkan paket tarif besar-besaran, yang memicu kekhawatiran akan terjadinya resesi global. Para analis menilai bahwa langkah investor beralih ke aset yang dianggap lebih likuid dan aman merupakan respons atas potensi koreksi tajam di berbagai instrumen keuangan.
Meningkatnya kekuatan dolar AS turut memperburuk posisi emas, karena logam mulia ini menjadi lebih mahal bagi pemegang mata uang lain. Selain itu, tekanan dari margin dan likuiditas yang terbatas memaksa para spekulan untuk melakukan penjualan emas dalam jumlah besar, sehingga menambah tekanan pada harga.
Di sisi lain, ancaman tarif 50% yang disuarakan Trump terhadap Tiongkok membuat situasi semakin memanas. Gedung Putih membantah laporan bahwa pemerintah AS akan menunda tarif selama 90 hari untuk negara-negara selain Tiongkok, menyebut informasi tersebut sebagai “berita palsu.”
Gejolak ini membuat pasar saham mengalami tekanan luar biasa. Indeks utama seperti S&P 500 jatuh 9% dalam sepekan terakhir—penurunan mingguan tertajam sejak pandemi COVID-19. Ketidakpastian ekonomi, ancaman inflasi tinggi, dan risiko resesi global membuat investor semakin waspada.
Namun demikian, meski emas mengalami koreksi dalam beberapa hari terakhir, daya tahannya tetap terlihat. Harga emas masih berada di atas level psikologis penting yaitu USD 3.000 per ons, dan penurunan ini justru dinilai sebagai peluang investasi jangka panjang oleh banyak pelaku pasar.
Tren pengalihan cadangan devisa oleh bank sentral dari dolar AS ke emas semakin menguat, terutama karena kekhawatiran bahwa kebijakan proteksionis AS akan membuat negara lain mencari alternatif mitra dagang yang lebih stabil. Dalam konteks ini, emas kembali menegaskan posisinya sebagai aset moneter global yang tidak terikat pada risiko politik satu negara.
Sementara emas masih bertahan sebagai pilihan utama, nasib berbeda dialami oleh logam mulia lainnya, terutama perak. Harga perak anjlok hampir 14% dalam satu minggu terakhir, turun di bawah USD 30 per ons. Penurunan ini sebagian besar disebabkan oleh tingginya ketergantungan perak pada permintaan sektor industri, yang sangat rentan terhadap perlambatan ekonomi global.
Rasio harga emas terhadap perak kini melonjak di atas 100—angka tertinggi sejak Juni 2020. Ini menunjukkan bahwa emas saat ini jauh lebih disukai oleh investor dibandingkan perak. Meskipun begitu, para analis masih menaruh harapan pada perak dalam jangka panjang, terutama karena tren global menuju elektrifikasi dan energi bersih yang diperkirakan akan kembali menghidupkan permintaan.
Minggu ini menjadi salah satu yang paling bergolak dalam sejarah pasar keuangan dunia, namun logam mulia tetap menjadi indikator utama arah pergerakan pasar. Emas, meski tergelincir, masih menunjukkan kekuatannya sebagai aset aman di tengah badai ketidakpastian.(Courtesy picture:ilustrasi gambar harga emas)