Optimisme Indonesia di Tengah Pembatalan Investasi Baterai Listrik Konsorsium Korea Selatan

Last Updated: April 23, 2025By Tags: ,

Jakarta, Sofund.news – Meskipun Indonesia menghadapi tantangan besar dengan pembatalan investasi jumbo senilai 7,7 miliar dolar AS oleh konsorsium Korea Selatan dalam proyek pengembangan baterai listrik, Presiden Prabowo Subianto tetap menyuarakan keyakinan bahwa masa depan investasi di sektor ini masih cerah. Dalam pernyataannya usai bertemu Wakil Perdana Menteri Malaysia, Prabowo menggarisbawahi bahwa Indonesia tetap kuat dan penuh potensi untuk menarik mitra baru. Ia menegaskan bahwa peluang kerja sama dengan negara lain masih terbuka lebar.

Konsorsium yang terdiri dari perusahaan-perusahaan besar Korea Selatan seperti LG Energy Solution, LG Chem, dan LX International Corp awalnya sudah menjalin kemitraan dengan Indonesia, termasuk BUMN, untuk membangun rantai pasok baterai kendaraan listrik dari hulu ke hilir. Namun, karena perubahan kondisi pasar global dan perlambatan permintaan kendaraan listrik, konsorsium memutuskan menghentikan proyek tersebut. Meski begitu, mereka menegaskan bahwa bisnis mereka yang lain di Indonesia tetap berjalan, seperti kolaborasi LG dengan Hyundai melalui HLI Green Power.

Tanggapan dari pemerintah Indonesia beragam. Tri Winarno, Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, mempertanyakan komitmen awal dari LG dan menyayangkan ketidakkonsistenan jadwal proyek. Ia bahkan menyebut bahwa investor serius seharusnya bisa tepat waktu dan tidak hanya memberikan janji. Meski demikian, Tri tetap yakin bahwa akan ada investor baru yang menggantikan posisi konsorsium tersebut dalam proyek hilirisasi nikel.

Sementara itu, Hashim Djojohadikusumo, utusan Presiden untuk urusan iklim dan energi, memilih merespons secara santai dengan menyerahkan segalanya pada kehendak Tuhan, menandakan bahwa pemerintah tetap tenang menyikapi situasi ini. Di sisi lain, Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno menolak anggapan bahwa pembatalan investasi berkaitan dengan revisi UU TNI, sebagaimana disinggung oleh media Korea Selatan. Menurutnya, keputusan investasi lebih bergantung pada aspek komersial dan keekonomian, bukan faktor politik atau hukum semata.

Sebagai tambahan, pembatalan oleh konsorsium Korea Selatan ini bukanlah kasus tunggal. Sebelumnya, dua perusahaan besar asal Jerman dan Prancis, BASF dan Eramet, juga menghentikan rencana investasi mereka di proyek pemurnian nikel Sonic Bay, Maluku Utara. Alasan serupa menjadi latar belakang keputusan ini, yaitu perubahan signifikan pada pasar global, khususnya terkait permintaan bahan baku baterai.

Di balik tantangan ini, akademisi asal Korea Selatan, Dr. Ko Young-Kyung, sempat mengingatkan soal perlunya perbaikan ekosistem investasi di Indonesia. Dalam forum yang digelar FPCI bersama Korea Foundation, ia menyoroti ketidakpastian regulasi di Indonesia, yang membuat investor besar seperti Hyundai harus menghadapi perubahan-perubahan kebijakan secara mendadak. Ia juga menyebut bahwa insentif pemerintah terkadang dirasa lebih menguntungkan pihak tertentu, misalnya investor dari China.

Lebih jauh, Ko menegaskan bahwa Indonesia perlu bersaing dengan negara-negara lain di kawasan seperti Vietnam yang kini menjadi magnet baru investasi asing berkat pertumbuhan ekonomi yang cepat dan strategi ekspor yang kuat. Untuk menjaga daya saing, Indonesia didorong untuk memperjelas kebijakan, meningkatkan insentif yang adil, serta memanfaatkan potensi besar dari teknologi seperti semikonduktor dan kendaraan listrik.

Meskipun menghadapi kenyataan pahit, Indonesia tetap menatap masa depan dengan kepala tegak. Komitmen untuk membangun industri baterai listrik nasional tidak surut. Sebaliknya, ini menjadi momentum untuk berbenah dan memperkuat posisi Indonesia sebagai tujuan investasi strategis di Asia Tenggara.(Courtesy picture:ilustrasi Penulis)

Optimisme Indonesia di Tengah Pembatalan Investasi Baterai Listrik Konsorsium Korea Selatan

Last Updated: April 23, 2025By Tags: ,

Jakarta, Sofund.news – Meskipun Indonesia menghadapi tantangan besar dengan pembatalan investasi jumbo senilai 7,7 miliar dolar AS oleh konsorsium Korea Selatan dalam proyek pengembangan baterai listrik, Presiden Prabowo Subianto tetap menyuarakan keyakinan bahwa masa depan investasi di sektor ini masih cerah. Dalam pernyataannya usai bertemu Wakil Perdana Menteri Malaysia, Prabowo menggarisbawahi bahwa Indonesia tetap kuat dan penuh potensi untuk menarik mitra baru. Ia menegaskan bahwa peluang kerja sama dengan negara lain masih terbuka lebar.

Konsorsium yang terdiri dari perusahaan-perusahaan besar Korea Selatan seperti LG Energy Solution, LG Chem, dan LX International Corp awalnya sudah menjalin kemitraan dengan Indonesia, termasuk BUMN, untuk membangun rantai pasok baterai kendaraan listrik dari hulu ke hilir. Namun, karena perubahan kondisi pasar global dan perlambatan permintaan kendaraan listrik, konsorsium memutuskan menghentikan proyek tersebut. Meski begitu, mereka menegaskan bahwa bisnis mereka yang lain di Indonesia tetap berjalan, seperti kolaborasi LG dengan Hyundai melalui HLI Green Power.

Tanggapan dari pemerintah Indonesia beragam. Tri Winarno, Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, mempertanyakan komitmen awal dari LG dan menyayangkan ketidakkonsistenan jadwal proyek. Ia bahkan menyebut bahwa investor serius seharusnya bisa tepat waktu dan tidak hanya memberikan janji. Meski demikian, Tri tetap yakin bahwa akan ada investor baru yang menggantikan posisi konsorsium tersebut dalam proyek hilirisasi nikel.

Sementara itu, Hashim Djojohadikusumo, utusan Presiden untuk urusan iklim dan energi, memilih merespons secara santai dengan menyerahkan segalanya pada kehendak Tuhan, menandakan bahwa pemerintah tetap tenang menyikapi situasi ini. Di sisi lain, Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno menolak anggapan bahwa pembatalan investasi berkaitan dengan revisi UU TNI, sebagaimana disinggung oleh media Korea Selatan. Menurutnya, keputusan investasi lebih bergantung pada aspek komersial dan keekonomian, bukan faktor politik atau hukum semata.

Sebagai tambahan, pembatalan oleh konsorsium Korea Selatan ini bukanlah kasus tunggal. Sebelumnya, dua perusahaan besar asal Jerman dan Prancis, BASF dan Eramet, juga menghentikan rencana investasi mereka di proyek pemurnian nikel Sonic Bay, Maluku Utara. Alasan serupa menjadi latar belakang keputusan ini, yaitu perubahan signifikan pada pasar global, khususnya terkait permintaan bahan baku baterai.

Di balik tantangan ini, akademisi asal Korea Selatan, Dr. Ko Young-Kyung, sempat mengingatkan soal perlunya perbaikan ekosistem investasi di Indonesia. Dalam forum yang digelar FPCI bersama Korea Foundation, ia menyoroti ketidakpastian regulasi di Indonesia, yang membuat investor besar seperti Hyundai harus menghadapi perubahan-perubahan kebijakan secara mendadak. Ia juga menyebut bahwa insentif pemerintah terkadang dirasa lebih menguntungkan pihak tertentu, misalnya investor dari China.

Lebih jauh, Ko menegaskan bahwa Indonesia perlu bersaing dengan negara-negara lain di kawasan seperti Vietnam yang kini menjadi magnet baru investasi asing berkat pertumbuhan ekonomi yang cepat dan strategi ekspor yang kuat. Untuk menjaga daya saing, Indonesia didorong untuk memperjelas kebijakan, meningkatkan insentif yang adil, serta memanfaatkan potensi besar dari teknologi seperti semikonduktor dan kendaraan listrik.

Meskipun menghadapi kenyataan pahit, Indonesia tetap menatap masa depan dengan kepala tegak. Komitmen untuk membangun industri baterai listrik nasional tidak surut. Sebaliknya, ini menjadi momentum untuk berbenah dan memperkuat posisi Indonesia sebagai tujuan investasi strategis di Asia Tenggara.(Courtesy picture:ilustrasi Penulis)