Antara Energi dan Emisi: Ambisi China Bangun Pembangkit Batu Bara di Tengah Tekanan Iklim

Last Updated: April 21, 2025By Tags:

Jakarta, Sofund.news – Di tengah sorotan global terhadap krisis iklim dan perlombaan menuju energi bersih, China mengambil langkah kontroversial dengan merilis kebijakan terbaru mengenai pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara. Kebijakan yang diumumkan pada hari Senin, 14 April 2025, memuat rencana pembangunan tambahan pembangkit batu bara hingga tahun 2027. Keputusan ini dinilai sebagai strategi untuk menjaga ketahanan energi dan menjamin stabilitas jaringan listrik, terutama di wilayah-wilayah yang masih sangat bergantung pada pasokan listrik dari energi fosil.

Kebijakan ini memunculkan perdebatan tajam tentang komitmen China terhadap transisi energi bersih, terlebih mengingat target pengurangan emisi karbon yang dicanangkan untuk periode 2026 hingga 2030. Pemerintah China menegaskan bahwa proyek pembangkit batu bara terbaru ini bukanlah upaya mundur dari komitmen lingkungan, melainkan justru diposisikan sebagai cadangan darurat bagi energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin. Energi dari sumber terbarukan memang cenderung fluktuatif, sangat tergantung pada kondisi cuaca. Ketika sinar matahari dan hembusan angin melemah, pembangkit batu bara diproyeksikan dapat menopang pasokan listrik agar tetap stabil.

Namun, pemerintah tidak serta-merta membuka keran pembangunan tanpa syarat. Melalui pedoman yang diterbitkan oleh perencana negara dan otoritas regulator energi, terdapat sejumlah kriteria ketat yang harus dipenuhi oleh pembangkit baru. Salah satu syarat utama adalah penurunan tingkat emisi. Pembangkit batu bara yang akan dibangun wajib memiliki tingkat emisi karbon yang 10 hingga 20 persen lebih rendah dibandingkan rata-rata emisi dari pembangkit batu bara yang beroperasi pada tahun 2024.

Lebih dari itu, pembangkit-pembangkit lama pun akan didorong untuk menjalani proses modernisasi agar sesuai dengan standar emisi baru yang ditetapkan. Transformasi ini mencakup peningkatan teknologi, efisiensi operasional, hingga sistem kontrol emisi yang lebih canggih dan ramah lingkungan. Modernisasi diharapkan tidak hanya meningkatkan performa teknis, tetapi juga dapat memperpanjang usia operasi pembangkit yang sudah ada.

Fungsi utama pembangkit baru ini juga tidak melulu sebagai sumber utama energi, melainkan lebih sebagai “penyeimbang sistem” di masa-masa krusial. Dalam skenario permintaan listrik yang tinggi, misalnya saat musim panas atau musim dingin ekstrem, pembangkit batu bara tersebut harus bisa diandalkan untuk memenuhi lonjakan kebutuhan energi nasional. Pemerintah juga menegaskan pentingnya fleksibilitas produksi dan kemampuan penyesuaian secara cepat tanpa mengganggu keselamatan operasional.

Dari sisi konsumsi, laporan yang dirilis oleh Asosiasi Batu Bara China menegaskan bahwa konsumsi batu bara nasional diperkirakan akan terus meningkat hingga tahun 2028. Hal ini berlawanan dengan prediksi sebelumnya yang memperkirakan bahwa konsumsi batu bara China akan mencapai puncaknya pada tahun ini, 2025. Laporan tersebut menyebutkan bahwa sektor kelistrikan dan industri kimia akan menjadi pendorong utama peningkatan konsumsi. Sementara itu, sektor-sektor lain seperti baja dan bahan bangunan justru mengalami penurunan permintaan terhadap batu bara.

Meskipun banyak pihak yang mempertanyakan arah kebijakan ini, China berdalih bahwa langkah ini merupakan bagian dari transisi energi yang berimbang dan bertahap. Pemerintah menilai bahwa penghapusan batu bara secara drastis dapat menimbulkan gangguan serius terhadap sistem energi nasional, terutama karena pengembangan energi terbarukan masih dalam tahap konsolidasi dan belum sepenuhnya stabil. Oleh karena itu, pembangkit batu bara dianggap sebagai penyangga jangka menengah sambil terus meningkatkan investasi pada teknologi hijau.

Kritikus kebijakan ini berpendapat bahwa langkah tersebut bisa menghambat pencapaian target emisi global, terutama karena China merupakan negara penghasil emisi karbon terbesar di dunia. Namun, pendukung kebijakan ini melihat bahwa strategi yang dilakukan oleh China mencerminkan pendekatan realistis dalam mengelola kebutuhan energi negara dengan populasi dan industri terbesar.

Dengan demikian, arah kebijakan energi China saat ini menjadi potret kompleksitas transisi menuju energi bersih di negara berkembang. Meski menghadirkan tantangan terhadap agenda lingkungan global, kebijakan ini juga mencerminkan upaya negara dalam menjaga kestabilan ekonomi dan sosial di tengah kebutuhan energi yang terus meningkat. (Courtsey Picture : Ilustrasi penulis)

Antara Energi dan Emisi: Ambisi China Bangun Pembangkit Batu Bara di Tengah Tekanan Iklim

Last Updated: April 21, 2025By Tags:

Jakarta, Sofund.news – Di tengah sorotan global terhadap krisis iklim dan perlombaan menuju energi bersih, China mengambil langkah kontroversial dengan merilis kebijakan terbaru mengenai pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara. Kebijakan yang diumumkan pada hari Senin, 14 April 2025, memuat rencana pembangunan tambahan pembangkit batu bara hingga tahun 2027. Keputusan ini dinilai sebagai strategi untuk menjaga ketahanan energi dan menjamin stabilitas jaringan listrik, terutama di wilayah-wilayah yang masih sangat bergantung pada pasokan listrik dari energi fosil.

Kebijakan ini memunculkan perdebatan tajam tentang komitmen China terhadap transisi energi bersih, terlebih mengingat target pengurangan emisi karbon yang dicanangkan untuk periode 2026 hingga 2030. Pemerintah China menegaskan bahwa proyek pembangkit batu bara terbaru ini bukanlah upaya mundur dari komitmen lingkungan, melainkan justru diposisikan sebagai cadangan darurat bagi energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin. Energi dari sumber terbarukan memang cenderung fluktuatif, sangat tergantung pada kondisi cuaca. Ketika sinar matahari dan hembusan angin melemah, pembangkit batu bara diproyeksikan dapat menopang pasokan listrik agar tetap stabil.

Namun, pemerintah tidak serta-merta membuka keran pembangunan tanpa syarat. Melalui pedoman yang diterbitkan oleh perencana negara dan otoritas regulator energi, terdapat sejumlah kriteria ketat yang harus dipenuhi oleh pembangkit baru. Salah satu syarat utama adalah penurunan tingkat emisi. Pembangkit batu bara yang akan dibangun wajib memiliki tingkat emisi karbon yang 10 hingga 20 persen lebih rendah dibandingkan rata-rata emisi dari pembangkit batu bara yang beroperasi pada tahun 2024.

Lebih dari itu, pembangkit-pembangkit lama pun akan didorong untuk menjalani proses modernisasi agar sesuai dengan standar emisi baru yang ditetapkan. Transformasi ini mencakup peningkatan teknologi, efisiensi operasional, hingga sistem kontrol emisi yang lebih canggih dan ramah lingkungan. Modernisasi diharapkan tidak hanya meningkatkan performa teknis, tetapi juga dapat memperpanjang usia operasi pembangkit yang sudah ada.

Fungsi utama pembangkit baru ini juga tidak melulu sebagai sumber utama energi, melainkan lebih sebagai “penyeimbang sistem” di masa-masa krusial. Dalam skenario permintaan listrik yang tinggi, misalnya saat musim panas atau musim dingin ekstrem, pembangkit batu bara tersebut harus bisa diandalkan untuk memenuhi lonjakan kebutuhan energi nasional. Pemerintah juga menegaskan pentingnya fleksibilitas produksi dan kemampuan penyesuaian secara cepat tanpa mengganggu keselamatan operasional.

Dari sisi konsumsi, laporan yang dirilis oleh Asosiasi Batu Bara China menegaskan bahwa konsumsi batu bara nasional diperkirakan akan terus meningkat hingga tahun 2028. Hal ini berlawanan dengan prediksi sebelumnya yang memperkirakan bahwa konsumsi batu bara China akan mencapai puncaknya pada tahun ini, 2025. Laporan tersebut menyebutkan bahwa sektor kelistrikan dan industri kimia akan menjadi pendorong utama peningkatan konsumsi. Sementara itu, sektor-sektor lain seperti baja dan bahan bangunan justru mengalami penurunan permintaan terhadap batu bara.

Meskipun banyak pihak yang mempertanyakan arah kebijakan ini, China berdalih bahwa langkah ini merupakan bagian dari transisi energi yang berimbang dan bertahap. Pemerintah menilai bahwa penghapusan batu bara secara drastis dapat menimbulkan gangguan serius terhadap sistem energi nasional, terutama karena pengembangan energi terbarukan masih dalam tahap konsolidasi dan belum sepenuhnya stabil. Oleh karena itu, pembangkit batu bara dianggap sebagai penyangga jangka menengah sambil terus meningkatkan investasi pada teknologi hijau.

Kritikus kebijakan ini berpendapat bahwa langkah tersebut bisa menghambat pencapaian target emisi global, terutama karena China merupakan negara penghasil emisi karbon terbesar di dunia. Namun, pendukung kebijakan ini melihat bahwa strategi yang dilakukan oleh China mencerminkan pendekatan realistis dalam mengelola kebutuhan energi negara dengan populasi dan industri terbesar.

Dengan demikian, arah kebijakan energi China saat ini menjadi potret kompleksitas transisi menuju energi bersih di negara berkembang. Meski menghadirkan tantangan terhadap agenda lingkungan global, kebijakan ini juga mencerminkan upaya negara dalam menjaga kestabilan ekonomi dan sosial di tengah kebutuhan energi yang terus meningkat. (Courtsey Picture : Ilustrasi penulis)