Aset Kripto di Indonesia: Antara Peluang dan Tantangan Regulasi

Last Updated: February 13, 2025By Tags: , , ,

Jakarta, Sofund.news – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengakui bahwa pengelolaan aset kripto di Indonesia masih menghadapi tantangan karena belum adanya standar baku internasional yang mengatur secara komprehensif. Hal ini diungkapkan oleh Djoko Kurnijanto, Kepala Departemen Pengaturan dan Perizinan Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto (IAKD) OJK, dalam acara Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan (PTIJK) 2025 di Jakarta Convention Center, Selasa (11/2/2025).

Djoko menjelaskan bahwa aset kripto telah ditetapkan sebagai aset keuangan digital dan diatur dalam Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). “Pengaturan di P2SK mengamanatkan kepada OJK untuk melakukan pengaturan dan pengawasan, yang sebelumnya telah diawasi oleh Bappebti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi), dan memang sebelumnya dengan kelas aset komoditas,” ujarnya.

Dengan peralihan pengawasan dari Bappebti ke OJK, Djoko menekankan pentingnya persiapan yang matang. Pasalnya, aktivitas transaksi aset kripto terus berjalan dengan pesat. “Ada bursa juga, ada custody juga, ada penyelenggara jasa pembayaran (PJP). Pun demikian, ada aktivitas penunjang lain. Kita harus berpindah ke ‘rel’ yang lain, di saat ‘kereta’ ini tetap berjalan dengan kencang,” jelasnya.

OJK telah menyiapkan tiga fase untuk menghadapi tantangan ini. Fase pertama adalah transisi yang mulus atau soft landing. “Jadi, soft landing ini merupakan target utama kami. Nanti setelah soft landing, fase berikutnya kami akan memperkuatnya. Fase ketiga adalah fase development,” kata Djoko.

Ia menambahkan bahwa fase soft landing ini didukung oleh terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) dan Nota Kesepahaman (NK) antara OJK dengan Bappebti, serta Berita Serah Terima (BST). Dengan demikian, transaksi aset kripto tetap dapat berjalan dan investor pun dapat terus bertransaksi.

Djoko mengungkapkan bahwa fase soft landing telah tercapai dan OJK akan segera melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap aset kripto. Hal yang paling krusial saat ini adalah memastikan proses perizinan tetap berjalan.

“Karena perizinan ini sudah ada yang dari Bappebti. Ada yang sudah menjadi pedagang aset fisik, dan ada juga masih ada yang calon pedagang aset fisik. Ini yang akan kami kejar terus. Karena sudah diklasifikasikan sebagai aset keuangan, ini pengaturannya harus sejajar dengan lembaga jasa keuangan di bidang lain,” tegasnya.

Dengan langkah-langkah ini, OJK berharap dapat menciptakan ekosistem aset kripto yang aman, transparan, dan mendukung inovasi di sektor keuangan digital Indonesia.(Courtesy picture:ilustrasi kripto)

Aset Kripto di Indonesia: Antara Peluang dan Tantangan Regulasi

Last Updated: February 13, 2025By Tags: , , ,

Jakarta, Sofund.news – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengakui bahwa pengelolaan aset kripto di Indonesia masih menghadapi tantangan karena belum adanya standar baku internasional yang mengatur secara komprehensif. Hal ini diungkapkan oleh Djoko Kurnijanto, Kepala Departemen Pengaturan dan Perizinan Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto (IAKD) OJK, dalam acara Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan (PTIJK) 2025 di Jakarta Convention Center, Selasa (11/2/2025).

Djoko menjelaskan bahwa aset kripto telah ditetapkan sebagai aset keuangan digital dan diatur dalam Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). “Pengaturan di P2SK mengamanatkan kepada OJK untuk melakukan pengaturan dan pengawasan, yang sebelumnya telah diawasi oleh Bappebti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi), dan memang sebelumnya dengan kelas aset komoditas,” ujarnya.

Dengan peralihan pengawasan dari Bappebti ke OJK, Djoko menekankan pentingnya persiapan yang matang. Pasalnya, aktivitas transaksi aset kripto terus berjalan dengan pesat. “Ada bursa juga, ada custody juga, ada penyelenggara jasa pembayaran (PJP). Pun demikian, ada aktivitas penunjang lain. Kita harus berpindah ke ‘rel’ yang lain, di saat ‘kereta’ ini tetap berjalan dengan kencang,” jelasnya.

OJK telah menyiapkan tiga fase untuk menghadapi tantangan ini. Fase pertama adalah transisi yang mulus atau soft landing. “Jadi, soft landing ini merupakan target utama kami. Nanti setelah soft landing, fase berikutnya kami akan memperkuatnya. Fase ketiga adalah fase development,” kata Djoko.

Ia menambahkan bahwa fase soft landing ini didukung oleh terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) dan Nota Kesepahaman (NK) antara OJK dengan Bappebti, serta Berita Serah Terima (BST). Dengan demikian, transaksi aset kripto tetap dapat berjalan dan investor pun dapat terus bertransaksi.

Djoko mengungkapkan bahwa fase soft landing telah tercapai dan OJK akan segera melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap aset kripto. Hal yang paling krusial saat ini adalah memastikan proses perizinan tetap berjalan.

“Karena perizinan ini sudah ada yang dari Bappebti. Ada yang sudah menjadi pedagang aset fisik, dan ada juga masih ada yang calon pedagang aset fisik. Ini yang akan kami kejar terus. Karena sudah diklasifikasikan sebagai aset keuangan, ini pengaturannya harus sejajar dengan lembaga jasa keuangan di bidang lain,” tegasnya.

Dengan langkah-langkah ini, OJK berharap dapat menciptakan ekosistem aset kripto yang aman, transparan, dan mendukung inovasi di sektor keuangan digital Indonesia.(Courtesy picture:ilustrasi kripto)