Bencana Banjir Bandang Morowali: Akibat Eksploitasi Tambang Nikel?
Jakarta. Sofund.new – Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, kembali mengalami banjir bandang pada Minggu (16/3/2025) malam setelah hujan deras dan angin kencang melanda wilayah tersebut. Bencana ini merendam dua desa di Kecamatan Bahodopi, yakni Desa Lalampu dan Desa Labota. Selain itu, beberapa tiang listrik dilaporkan roboh, memaksa warga untuk segera mengungsi demi keselamatan.
Sepanjang tahun 2025, banjir bandang telah beberapa kali terjadi di Kabupaten Morowali. Bahkan, pada akhir 2024, Desa Labota sempat mengalami banjir yang disertai lumpur. Kejadian ini tidak terlepas dari meningkatnya aktivitas pertambangan nikel di wilayah tersebut. Eksploitasi tambang yang semakin meluas menyebabkan ketidakseimbangan ekologi dan memperparah risiko bencana alam.
Peningkatan aktivitas pertambangan di Kabupaten Morowali merupakan bagian dari program hilirisasi nikel yang dijalankan pemerintah. Berdasarkan data yang ada, terdapat 65 izin usaha pertambangan (IUP) berstatus operasi produksi di Morowali dengan total luas konsesi mencapai 155.051 hektar. Khusus di Desa Lalampu, setidaknya 17 izin tambang nikel telah diberikan dan beroperasi secara aktif.
Dampak dari ekspansi tambang ini semakin nyata dengan frekuensi banjir yang meningkat setiap tahunnya. Perubahan lanskap akibat tambang menyebabkan daya serap air berkurang, mempercepat aliran permukaan, dan meningkatkan risiko longsor serta banjir bandang. Hal ini menunjukkan bahwa eksploitasi tambang di Morowali tidak hanya berdampak pada perekonomian, tetapi juga mengancam lingkungan serta kehidupan masyarakat sekitar.
Fenomena ini seharusnya menjadi perhatian serius bagi Pemerintah Kabupaten Morowali, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, hingga Pemerintah Pusat. Kebijakan pengelolaan pertambangan harus mempertimbangkan dampak ekologis jangka panjang agar tidak semakin memperburuk kondisi lingkungan. Evaluasi terhadap izin-izin tambang yang telah diberikan perlu dilakukan untuk memastikan keseimbangan antara eksploitasi sumber daya alam dan keberlanjutan ekosistem.
Sebagai langkah pencegahan, diperlukan kebijakan yang lebih ketat dalam mengawasi aktivitas pertambangan di kawasan hulu Morowali. Selain itu, pemulihan lingkungan melalui program reboisasi dan pengelolaan tata air yang lebih baik harus segera dilakukan untuk mengurangi risiko bencana di masa depan. Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup harus diterapkan dengan tegas untuk memastikan kelestarian alam serta keselamatan masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah pertambangan.
Dengan meningkatnya aktivitas pertambangan, risiko bencana di Morowali diperkirakan akan terus bertambah jika tidak ada tindakan konkret yang dilakukan. Oleh karena itu, keseimbangan antara eksploitasi sumber daya dan keberlanjutan lingkungan harus menjadi prioritas utama demi menjaga kelangsungan hidup masyarakat serta ekosistem di wilayah tersebut. (Courtesy Picture : Tangkapan Layar Sosmed TT)
Bencana Banjir Bandang Morowali: Akibat Eksploitasi Tambang Nikel?
Jakarta. Sofund.new – Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, kembali mengalami banjir bandang pada Minggu (16/3/2025) malam setelah hujan deras dan angin kencang melanda wilayah tersebut. Bencana ini merendam dua desa di Kecamatan Bahodopi, yakni Desa Lalampu dan Desa Labota. Selain itu, beberapa tiang listrik dilaporkan roboh, memaksa warga untuk segera mengungsi demi keselamatan.
Sepanjang tahun 2025, banjir bandang telah beberapa kali terjadi di Kabupaten Morowali. Bahkan, pada akhir 2024, Desa Labota sempat mengalami banjir yang disertai lumpur. Kejadian ini tidak terlepas dari meningkatnya aktivitas pertambangan nikel di wilayah tersebut. Eksploitasi tambang yang semakin meluas menyebabkan ketidakseimbangan ekologi dan memperparah risiko bencana alam.
Peningkatan aktivitas pertambangan di Kabupaten Morowali merupakan bagian dari program hilirisasi nikel yang dijalankan pemerintah. Berdasarkan data yang ada, terdapat 65 izin usaha pertambangan (IUP) berstatus operasi produksi di Morowali dengan total luas konsesi mencapai 155.051 hektar. Khusus di Desa Lalampu, setidaknya 17 izin tambang nikel telah diberikan dan beroperasi secara aktif.
Dampak dari ekspansi tambang ini semakin nyata dengan frekuensi banjir yang meningkat setiap tahunnya. Perubahan lanskap akibat tambang menyebabkan daya serap air berkurang, mempercepat aliran permukaan, dan meningkatkan risiko longsor serta banjir bandang. Hal ini menunjukkan bahwa eksploitasi tambang di Morowali tidak hanya berdampak pada perekonomian, tetapi juga mengancam lingkungan serta kehidupan masyarakat sekitar.
Fenomena ini seharusnya menjadi perhatian serius bagi Pemerintah Kabupaten Morowali, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, hingga Pemerintah Pusat. Kebijakan pengelolaan pertambangan harus mempertimbangkan dampak ekologis jangka panjang agar tidak semakin memperburuk kondisi lingkungan. Evaluasi terhadap izin-izin tambang yang telah diberikan perlu dilakukan untuk memastikan keseimbangan antara eksploitasi sumber daya alam dan keberlanjutan ekosistem.
Sebagai langkah pencegahan, diperlukan kebijakan yang lebih ketat dalam mengawasi aktivitas pertambangan di kawasan hulu Morowali. Selain itu, pemulihan lingkungan melalui program reboisasi dan pengelolaan tata air yang lebih baik harus segera dilakukan untuk mengurangi risiko bencana di masa depan. Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup harus diterapkan dengan tegas untuk memastikan kelestarian alam serta keselamatan masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah pertambangan.
Dengan meningkatnya aktivitas pertambangan, risiko bencana di Morowali diperkirakan akan terus bertambah jika tidak ada tindakan konkret yang dilakukan. Oleh karena itu, keseimbangan antara eksploitasi sumber daya dan keberlanjutan lingkungan harus menjadi prioritas utama demi menjaga kelangsungan hidup masyarakat serta ekosistem di wilayah tersebut. (Courtesy Picture : Tangkapan Layar Sosmed TT)