Brasil Menggugah Dunia: Diplomasi Iklim Menyongsong COP30
Jakarta, Sofund.news – Brasil tengah bersiap menjadi sorotan dunia sebagai tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim COP30 tahun ini. Dengan penuh tekad, negara terbesar di Amerika Selatan itu memanfaatkan momentum ini untuk mendorong negara-negara besar dan berkembang agar meningkatkan ambisi mereka dalam menangani krisis iklim global. Pemerintah Brasil berupaya membujuk kekuatan-kekuatan dunia seperti Eropa, China, dan negara-negara berkembang lainnya agar menetapkan target emisi yang lebih ketat demi mencegah kenaikan suhu Bumi melebihi ambang batas 2 derajat Celsius.
Langkah Brasil ini muncul di tengah upaya Presiden Luiz Inacio Lula da Silva dan Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, yang baru-baru ini mengadakan pertemuan tertutup secara virtual dengan para pemimpin dari 17 negara berpengaruh di dunia. Negara-negara tersebut terdiri atas negara-negara dengan ekonomi besar, serta sejumlah negara kepulauan kecil yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Dalam pertemuan tersebut, Brasil secara terbuka meminta para pemimpin dunia untuk mempercepat pengajuan Nationally Determined Contributions (NDC) terbaru mereka—dokumen yang mencerminkan komitmen masing-masing negara dalam menurunkan emisi gas rumah kaca.
Para diplomat Brasil, bekerja sama erat dengan pejabat dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, memainkan peran penting dalam menyusun strategi diplomasi ini. Mereka berharap agar semua negara dapat menyampaikan pembaruan target iklim mereka sebelum tenggat waktu pada bulan September tahun ini. Dalam konteks ini, Brasil memusatkan perhatian pada China dan Uni Eropa sebagai kekuatan ekonomi besar yang memiliki pengaruh besar terhadap arah kebijakan iklim global.
Menteri Luar Negeri Brasil, Mauro Vieira, menegaskan bahwa tujuan utama dari pertemuan daring tersebut adalah untuk mendesak negara-negara yang belum memperbarui NDC mereka agar segera melakukannya. Ia mengungkapkan bahwa sebagian besar negara memang belum menyampaikan pembaruan NDC mereka sesuai jadwal. Ketertinggalan ini dianggap dapat menghambat upaya kolektif dunia dalam menekan laju pemanasan global.
Pertemuan itu menjadi penting karena berhasil mempertemukan sejumlah tokoh penting dunia, termasuk Presiden Tiongkok Xi Jinping, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen, dan Presiden Prancis Emmanuel Macron. Tak ketinggalan, para pemimpin negara-negara kepulauan kecil juga turut hadir, membawa serta suara mereka yang kerap kali luput dari perhatian global meskipun menjadi pihak yang paling merasakan dampak perubahan iklim secara langsung.
Salah satu perkembangan signifikan dalam pertemuan itu datang dari China. Presiden Xi Jinping mengumumkan bahwa China akan tetap berada di jalur komitmen iklimnya dan tidak akan memperlambat ambisi dalam penurunan emisi. Guterres menyampaikan bahwa China akan menyampaikan NDC baru yang mencakup seluruh sektor ekonomi dan semua jenis gas rumah kaca. Ini merupakan pertama kalinya China memberikan kejelasan sejauh ini, dan hal ini dianggap sebagai langkah penting dalam perjuangan global melawan perubahan iklim.
Kantor berita resmi China, Xinhua, kemudian mengonfirmasi bahwa NDC baru dari China akan diumumkan secara resmi dalam forum COP30 yang akan berlangsung di Brasil pada bulan November. Sepekan sebelumnya, Duta Besar Brasil sekaligus Presiden COP30, Andre Correa do Lago, telah mengadakan pertemuan dengan pejabat tinggi di Beijing untuk membahas rincian target iklim nasional masing-masing.
Correa do Lago menyampaikan bahwa Brasil terus mengarahkan negara-negara peserta untuk menyelaraskan target-target iklim mereka dengan semangat Perjanjian Paris 2015. Ia menekankan pentingnya menjadikan COP30 sebagai tonggak besar dalam perjalanan dunia untuk memenuhi komitmen iklim secara konkret. Konferensi ini, yang akan digelar di kota Belem, menjadi istimewa karena bertepatan dengan peringatan satu dekade sejak Perjanjian Paris disepakati.
Presiden Lula, dalam pidato resminya yang dirilis oleh kantor kepresidenan, menyampaikan harapannya agar COP30 menjadi titik balik dalam perjuangan global melawan perubahan iklim. Ia mengungkapkan bahwa dunia telah terlalu lama dikecewakan oleh janji-janji kosong yang tidak pernah terealisasi. Oleh karena itu, Brasil ingin agar konferensi kali ini menjadi ajang bersama untuk aksi nyata yang dapat dirasakan dampaknya oleh seluruh umat manusia.
Namun, tantangan besar masih membayangi. Salah satunya adalah posisi Amerika Serikat yang sempat meninggalkan Perjanjian Paris di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump. Sebagai salah satu negara dengan ekonomi terbesar di dunia, ketidakhadiran AS dalam beberapa tahun lalu telah meninggalkan celah besar dalam komitmen global, dan menutup kesenjangan itu bukanlah perkara mudah.
Kini, dengan kepemimpinan baru di Gedung Putih dan kebangkitan kembali diplomasi iklim oleh negara-negara berkembang seperti Brasil, dunia melihat secercah harapan. Brasil, dengan pendekatan inklusif dan gigih, mencoba menjadi jembatan antara negara-negara maju dan negara berkembang untuk membentuk masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan.
COP30 di Belem tak hanya akan menjadi ajang diplomasi, tapi juga panggung sejarah di mana dunia diuji: apakah benar-benar siap mengesampingkan kepentingan jangka pendek demi menyelamatkan generasi mendatang dari krisis iklim yang semakin memburuk? Jawabannya akan ditentukan dari seberapa serius negara-negara peserta dalam menepati komitmen mereka — tidak hanya di atas kertas, tetapi dalam tindakan nyata yang bisa menyelamatkan Bumi ini. (Courtsey Picture : Ilustrasi Penulis)
Brasil Menggugah Dunia: Diplomasi Iklim Menyongsong COP30
Jakarta, Sofund.news – Brasil tengah bersiap menjadi sorotan dunia sebagai tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim COP30 tahun ini. Dengan penuh tekad, negara terbesar di Amerika Selatan itu memanfaatkan momentum ini untuk mendorong negara-negara besar dan berkembang agar meningkatkan ambisi mereka dalam menangani krisis iklim global. Pemerintah Brasil berupaya membujuk kekuatan-kekuatan dunia seperti Eropa, China, dan negara-negara berkembang lainnya agar menetapkan target emisi yang lebih ketat demi mencegah kenaikan suhu Bumi melebihi ambang batas 2 derajat Celsius.
Langkah Brasil ini muncul di tengah upaya Presiden Luiz Inacio Lula da Silva dan Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, yang baru-baru ini mengadakan pertemuan tertutup secara virtual dengan para pemimpin dari 17 negara berpengaruh di dunia. Negara-negara tersebut terdiri atas negara-negara dengan ekonomi besar, serta sejumlah negara kepulauan kecil yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Dalam pertemuan tersebut, Brasil secara terbuka meminta para pemimpin dunia untuk mempercepat pengajuan Nationally Determined Contributions (NDC) terbaru mereka—dokumen yang mencerminkan komitmen masing-masing negara dalam menurunkan emisi gas rumah kaca.
Para diplomat Brasil, bekerja sama erat dengan pejabat dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, memainkan peran penting dalam menyusun strategi diplomasi ini. Mereka berharap agar semua negara dapat menyampaikan pembaruan target iklim mereka sebelum tenggat waktu pada bulan September tahun ini. Dalam konteks ini, Brasil memusatkan perhatian pada China dan Uni Eropa sebagai kekuatan ekonomi besar yang memiliki pengaruh besar terhadap arah kebijakan iklim global.
Menteri Luar Negeri Brasil, Mauro Vieira, menegaskan bahwa tujuan utama dari pertemuan daring tersebut adalah untuk mendesak negara-negara yang belum memperbarui NDC mereka agar segera melakukannya. Ia mengungkapkan bahwa sebagian besar negara memang belum menyampaikan pembaruan NDC mereka sesuai jadwal. Ketertinggalan ini dianggap dapat menghambat upaya kolektif dunia dalam menekan laju pemanasan global.
Pertemuan itu menjadi penting karena berhasil mempertemukan sejumlah tokoh penting dunia, termasuk Presiden Tiongkok Xi Jinping, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen, dan Presiden Prancis Emmanuel Macron. Tak ketinggalan, para pemimpin negara-negara kepulauan kecil juga turut hadir, membawa serta suara mereka yang kerap kali luput dari perhatian global meskipun menjadi pihak yang paling merasakan dampak perubahan iklim secara langsung.
Salah satu perkembangan signifikan dalam pertemuan itu datang dari China. Presiden Xi Jinping mengumumkan bahwa China akan tetap berada di jalur komitmen iklimnya dan tidak akan memperlambat ambisi dalam penurunan emisi. Guterres menyampaikan bahwa China akan menyampaikan NDC baru yang mencakup seluruh sektor ekonomi dan semua jenis gas rumah kaca. Ini merupakan pertama kalinya China memberikan kejelasan sejauh ini, dan hal ini dianggap sebagai langkah penting dalam perjuangan global melawan perubahan iklim.
Kantor berita resmi China, Xinhua, kemudian mengonfirmasi bahwa NDC baru dari China akan diumumkan secara resmi dalam forum COP30 yang akan berlangsung di Brasil pada bulan November. Sepekan sebelumnya, Duta Besar Brasil sekaligus Presiden COP30, Andre Correa do Lago, telah mengadakan pertemuan dengan pejabat tinggi di Beijing untuk membahas rincian target iklim nasional masing-masing.
Correa do Lago menyampaikan bahwa Brasil terus mengarahkan negara-negara peserta untuk menyelaraskan target-target iklim mereka dengan semangat Perjanjian Paris 2015. Ia menekankan pentingnya menjadikan COP30 sebagai tonggak besar dalam perjalanan dunia untuk memenuhi komitmen iklim secara konkret. Konferensi ini, yang akan digelar di kota Belem, menjadi istimewa karena bertepatan dengan peringatan satu dekade sejak Perjanjian Paris disepakati.
Presiden Lula, dalam pidato resminya yang dirilis oleh kantor kepresidenan, menyampaikan harapannya agar COP30 menjadi titik balik dalam perjuangan global melawan perubahan iklim. Ia mengungkapkan bahwa dunia telah terlalu lama dikecewakan oleh janji-janji kosong yang tidak pernah terealisasi. Oleh karena itu, Brasil ingin agar konferensi kali ini menjadi ajang bersama untuk aksi nyata yang dapat dirasakan dampaknya oleh seluruh umat manusia.
Namun, tantangan besar masih membayangi. Salah satunya adalah posisi Amerika Serikat yang sempat meninggalkan Perjanjian Paris di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump. Sebagai salah satu negara dengan ekonomi terbesar di dunia, ketidakhadiran AS dalam beberapa tahun lalu telah meninggalkan celah besar dalam komitmen global, dan menutup kesenjangan itu bukanlah perkara mudah.
Kini, dengan kepemimpinan baru di Gedung Putih dan kebangkitan kembali diplomasi iklim oleh negara-negara berkembang seperti Brasil, dunia melihat secercah harapan. Brasil, dengan pendekatan inklusif dan gigih, mencoba menjadi jembatan antara negara-negara maju dan negara berkembang untuk membentuk masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan.
COP30 di Belem tak hanya akan menjadi ajang diplomasi, tapi juga panggung sejarah di mana dunia diuji: apakah benar-benar siap mengesampingkan kepentingan jangka pendek demi menyelamatkan generasi mendatang dari krisis iklim yang semakin memburuk? Jawabannya akan ditentukan dari seberapa serius negara-negara peserta dalam menepati komitmen mereka — tidak hanya di atas kertas, tetapi dalam tindakan nyata yang bisa menyelamatkan Bumi ini. (Courtsey Picture : Ilustrasi Penulis)