Digugat Pembeli NFT, Nike Dituding Abaikan Tanggung Jawab Digital setelah Tutup RTFKT

Last Updated: April 29, 2025By Tags: ,

Jakarta, Sofund.news – Raksasa industri olahraga global, Nike, kini menghadapi gugatan hukum dari sekelompok pembeli non-fungible token (NFT) yang merasa dirugikan atas penutupan mendadak RTFKT, perusahaan yang selama ini menjadi pengembang aset digital Nike di ranah metaverse. Gugatan tersebut diajukan dalam bentuk class action ke pengadilan federal di Brooklyn, New York, Amerika Serikat, dengan tuntutan ganti rugi lebih dari 5 juta dolar AS (sekitar Rp 84 miliar).

NFT sendiri merupakan aset digital unik yang dilindungi oleh teknologi blockchain, memungkinkan sertifikat kepemilikan yang tidak dapat digandakan atau dipalsukan. Tidak seperti aset digital lainnya seperti cryptocurrency yang bersifat fungible dan dapat dipertukarkan, NFT bersifat eksklusif. NFT dapat merepresentasikan berbagai bentuk aset digital seperti karya seni, foto, video, atau item virtual dalam dunia gim dan dunia maya.

Nike, melalui akuisisinya atas RTFKT pada Desember 2021, telah berupaya untuk memperluas sayap ke dunia digital dan memanfaatkan potensi pasar metaverse yang kala itu sedang berkembang pesat. RTFKT dikenal sebagai perusahaan yang menggabungkan teknologi blockchain dengan desain sepatu virtual untuk menciptakan koleksi digital premium yang autentik. Namun, pada Desember 2024, Nike secara mengejutkan menutup RTFKT, yang memicu kemarahan dan kekecewaan dari para pembeli NFT bertema sepatu kets Nike.

Salah satu penggugat utama, Jagdeep Cheema, mengungkapkan bahwa nilai NFT yang dimilikinya mengalami penurunan tajam setelah Nike menutup RTFKT. Ia menilai keputusan itu mendadak dan tidak disertai kejelasan masa depan dari proyek digital Nike yang telah mereka beli. Penutupan tersebut secara langsung dinilai menyebabkan menurunnya permintaan terhadap NFT buatan RTFKT, yang berdampak pada merosotnya nilai jual NFT para kolektor dan investor digital.

Gugatan tersebut juga menyoroti aspek legalitas penjualan NFT Nike. Para penggugat beranggapan bahwa NFT yang ditawarkan seharusnya diklasifikasikan sebagai sekuritas atau instrumen keuangan, yang dalam hukum Amerika Serikat wajib didaftarkan pada Securities and Exchange Commission (SEC), lembaga pengatur sekuritas federal. Namun dalam praktiknya, NFT tersebut dijual tanpa ada proses pendaftaran yang sesuai, sehingga mereka mengklaim telah tertipu.

Dalam dokumen gugatan, para penggugat menyebut bahwa mereka tidak akan pernah membeli NFT tersebut bila mengetahui bahwa aset digital itu tidak terdaftar secara resmi di SEC dan dapat kehilangan nilainya sewaktu-waktu. Oleh karena itu, mereka menuduh Nike melanggar undang-undang perlindungan konsumen di empat negara bagian, yakni New York, California, Florida, dan Oregon.

Sementara itu, pihak Nike belum memberikan pernyataan resmi terkait tuntutan hukum ini. Dalam pernyataan saat menutup RTFKT pada akhir tahun 2024, Nike menyampaikan bahwa meski entitas bisnis RTFKT dihentikan, inovasi digital yang telah dihasilkan akan tetap hidup melalui kreator dan proyek-proyek masa depan. Namun, tidak ada rincian lebih lanjut mengenai bentuk inovasi atau inisiatif apa yang dimaksud.

Kasus ini menambah panjang daftar persoalan hukum yang mulai muncul di tengah maraknya perdagangan aset digital. Gugatan ini bukan hanya mempertanyakan tanggung jawab Nike dalam mengelola produk digitalnya, tapi juga membuka diskusi lebih luas soal kejelasan regulasi terhadap NFT sebagai aset keuangan di era ekonomi digital. Kini, semua mata tertuju pada bagaimana Nike akan menanggapi tuntutan ini dan langkah hukum apa yang akan diambil oleh pengadilan dalam menilai validitas dari klaim tersebut.(Courtesy picture:Tangkapan Layar media sosial)

Digugat Pembeli NFT, Nike Dituding Abaikan Tanggung Jawab Digital setelah Tutup RTFKT

Last Updated: April 29, 2025By Tags: ,

Jakarta, Sofund.news – Raksasa industri olahraga global, Nike, kini menghadapi gugatan hukum dari sekelompok pembeli non-fungible token (NFT) yang merasa dirugikan atas penutupan mendadak RTFKT, perusahaan yang selama ini menjadi pengembang aset digital Nike di ranah metaverse. Gugatan tersebut diajukan dalam bentuk class action ke pengadilan federal di Brooklyn, New York, Amerika Serikat, dengan tuntutan ganti rugi lebih dari 5 juta dolar AS (sekitar Rp 84 miliar).

NFT sendiri merupakan aset digital unik yang dilindungi oleh teknologi blockchain, memungkinkan sertifikat kepemilikan yang tidak dapat digandakan atau dipalsukan. Tidak seperti aset digital lainnya seperti cryptocurrency yang bersifat fungible dan dapat dipertukarkan, NFT bersifat eksklusif. NFT dapat merepresentasikan berbagai bentuk aset digital seperti karya seni, foto, video, atau item virtual dalam dunia gim dan dunia maya.

Nike, melalui akuisisinya atas RTFKT pada Desember 2021, telah berupaya untuk memperluas sayap ke dunia digital dan memanfaatkan potensi pasar metaverse yang kala itu sedang berkembang pesat. RTFKT dikenal sebagai perusahaan yang menggabungkan teknologi blockchain dengan desain sepatu virtual untuk menciptakan koleksi digital premium yang autentik. Namun, pada Desember 2024, Nike secara mengejutkan menutup RTFKT, yang memicu kemarahan dan kekecewaan dari para pembeli NFT bertema sepatu kets Nike.

Salah satu penggugat utama, Jagdeep Cheema, mengungkapkan bahwa nilai NFT yang dimilikinya mengalami penurunan tajam setelah Nike menutup RTFKT. Ia menilai keputusan itu mendadak dan tidak disertai kejelasan masa depan dari proyek digital Nike yang telah mereka beli. Penutupan tersebut secara langsung dinilai menyebabkan menurunnya permintaan terhadap NFT buatan RTFKT, yang berdampak pada merosotnya nilai jual NFT para kolektor dan investor digital.

Gugatan tersebut juga menyoroti aspek legalitas penjualan NFT Nike. Para penggugat beranggapan bahwa NFT yang ditawarkan seharusnya diklasifikasikan sebagai sekuritas atau instrumen keuangan, yang dalam hukum Amerika Serikat wajib didaftarkan pada Securities and Exchange Commission (SEC), lembaga pengatur sekuritas federal. Namun dalam praktiknya, NFT tersebut dijual tanpa ada proses pendaftaran yang sesuai, sehingga mereka mengklaim telah tertipu.

Dalam dokumen gugatan, para penggugat menyebut bahwa mereka tidak akan pernah membeli NFT tersebut bila mengetahui bahwa aset digital itu tidak terdaftar secara resmi di SEC dan dapat kehilangan nilainya sewaktu-waktu. Oleh karena itu, mereka menuduh Nike melanggar undang-undang perlindungan konsumen di empat negara bagian, yakni New York, California, Florida, dan Oregon.

Sementara itu, pihak Nike belum memberikan pernyataan resmi terkait tuntutan hukum ini. Dalam pernyataan saat menutup RTFKT pada akhir tahun 2024, Nike menyampaikan bahwa meski entitas bisnis RTFKT dihentikan, inovasi digital yang telah dihasilkan akan tetap hidup melalui kreator dan proyek-proyek masa depan. Namun, tidak ada rincian lebih lanjut mengenai bentuk inovasi atau inisiatif apa yang dimaksud.

Kasus ini menambah panjang daftar persoalan hukum yang mulai muncul di tengah maraknya perdagangan aset digital. Gugatan ini bukan hanya mempertanyakan tanggung jawab Nike dalam mengelola produk digitalnya, tapi juga membuka diskusi lebih luas soal kejelasan regulasi terhadap NFT sebagai aset keuangan di era ekonomi digital. Kini, semua mata tertuju pada bagaimana Nike akan menanggapi tuntutan ini dan langkah hukum apa yang akan diambil oleh pengadilan dalam menilai validitas dari klaim tersebut.(Courtesy picture:Tangkapan Layar media sosial)