Efisiensi Anggaran yang Berisiko: Menghadapi Potensi Perlambatan Ekonomi dan Turunnya Daya Beli

Last Updated: February 11, 2025By Tags: , ,

Jakarta, SOFUND.news- Kebijakan penghematan besar-besaran yang dikeluarkan oleh Presiden Prabowo Subianto, yang tercermin dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025, telah menuai berbagai respons dari ekonom dan pihak terkait. Pemerintah berencana untuk melakukan pemangkasan anggaran senilai Rp306,69 triliun pada APBN dan APBD 2025. Penghematan ini mencakup belanja kementerian/lembaga (K/L) dan transfer ke daerah (TKD), yang diperkirakan akan berpotensi mempengaruhi daya beli masyarakat dan perekonomian secara keseluruhan.

Josua Pardede, Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk, mengungkapkan bahwa pemotongan anggaran ini, terutama di sektor infrastruktur dan pariwisata, dapat berdampak langsung pada penurunan daya beli masyarakat. Proyek infrastruktur yang dipotong dari anggaran tersebut berisiko mengurangi jumlah pekerja di sektor terkait, yang pada gilirannya dapat menurunkan pendapatan masyarakat. Josua menambahkan bahwa meskipun demikian, potensi dampak negatif ini belum tentu akan terjadi jika realokasi anggaran dilakukan dengan bijak, terutama jika anggaran yang dialihkan digunakan untuk mendukung program-program yang dapat meningkatkan daya beli, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan sektor pertanian.

Peneliti dari Institute for Development on Economics and Finance (Indef), Abdul Manap Pulungan, juga menyayangkan keputusan pemerintah untuk memotong anggaran infrastruktur. Menurutnya, pemangkasan tersebut berisiko mengurangi penyerapan tenaga kerja yang selama ini menjadi salah satu penggerak perekonomian. Infrastruktur memiliki efek pengganda yang signifikan terhadap perekonomian, dan pengurangan anggaran di sektor ini dapat memperlambat laju pertumbuhan ekonomi. Abdul menekankan bahwa jika pemotongan dilakukan pada pembangunan fisik, dampaknya akan lebih besar dibandingkan jika hanya fokus pada perawatan infrastruktur.

Selain itu, sektor-sektor yang terkait dengan kegiatan perjalanan dinas, seperti perhotelan dan transportasi, juga dapat terdampak dari kebijakan penghematan ini. Pengurangan anggaran perjalanan dinas, yang selama ini menjadi sumber pendapatan bagi sektor-sektor tersebut, bisa memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) dan menambah angka pengangguran. Shofie Azzahrah, Peneliti Next Policy, juga menekankan bahwa pemotongan anggaran secara agresif tanpa strategi yang matang bisa memperburuk perekonomian, karena belanja pemerintah berfungsi sebagai motor utama pertumbuhan ekonomi, terutama dalam mendorong konsumsi dan investasi.

Memang kebijakan ini bertujuan untuk menghemat anggaran negara guna membayar utang dan menjalankan program-program pemerintah, seperti Makan Bergizi Gratis, namun dampak jangka panjangnya terhadap perekonomian tetap menjadi perhatian. Sebagai contoh, pengurangan anggaran untuk daerah yang terus mengalami penurunan selama sepuluh tahun terakhir bisa semakin memperburuk kondisi keuangan daerah, yang sudah tertekan.

Beberapa ekonom berharap bahwa jika pemangkasan anggaran dilakukan secara selektif dan bijaksana, seperti mengurangi belanja yang tidak prioritas tanpa mengganggu sektor vital, maka dampak negatif dapat diminimalkan. Pemerintah juga diminta untuk memastikan bahwa layanan publik, terutama di sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, tidak terganggu oleh kebijakan efisiensi ini.

Meskipun kebijakan penghematan anggaran yang dikeluarkan oleh Presiden Prabowo Subianto bertujuan untuk memperbaiki keuangan negara, efisiensi yang dilakukan harus hati-hati dan selektif. Pemangkasan anggaran yang terlalu agresif berpotensi memperburuk perekonomian dan menurunkan daya beli masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah perlu memastikan bahwa pemotongan anggaran tidak mengganggu sektor-sektor vital yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. (Courtesy picture: Ilustrasi oleh penulis)

Efisiensi Anggaran yang Berisiko: Menghadapi Potensi Perlambatan Ekonomi dan Turunnya Daya Beli

Last Updated: February 11, 2025By Tags: , ,

Jakarta, SOFUND.news- Kebijakan penghematan besar-besaran yang dikeluarkan oleh Presiden Prabowo Subianto, yang tercermin dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025, telah menuai berbagai respons dari ekonom dan pihak terkait. Pemerintah berencana untuk melakukan pemangkasan anggaran senilai Rp306,69 triliun pada APBN dan APBD 2025. Penghematan ini mencakup belanja kementerian/lembaga (K/L) dan transfer ke daerah (TKD), yang diperkirakan akan berpotensi mempengaruhi daya beli masyarakat dan perekonomian secara keseluruhan.

Josua Pardede, Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk, mengungkapkan bahwa pemotongan anggaran ini, terutama di sektor infrastruktur dan pariwisata, dapat berdampak langsung pada penurunan daya beli masyarakat. Proyek infrastruktur yang dipotong dari anggaran tersebut berisiko mengurangi jumlah pekerja di sektor terkait, yang pada gilirannya dapat menurunkan pendapatan masyarakat. Josua menambahkan bahwa meskipun demikian, potensi dampak negatif ini belum tentu akan terjadi jika realokasi anggaran dilakukan dengan bijak, terutama jika anggaran yang dialihkan digunakan untuk mendukung program-program yang dapat meningkatkan daya beli, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan sektor pertanian.

Peneliti dari Institute for Development on Economics and Finance (Indef), Abdul Manap Pulungan, juga menyayangkan keputusan pemerintah untuk memotong anggaran infrastruktur. Menurutnya, pemangkasan tersebut berisiko mengurangi penyerapan tenaga kerja yang selama ini menjadi salah satu penggerak perekonomian. Infrastruktur memiliki efek pengganda yang signifikan terhadap perekonomian, dan pengurangan anggaran di sektor ini dapat memperlambat laju pertumbuhan ekonomi. Abdul menekankan bahwa jika pemotongan dilakukan pada pembangunan fisik, dampaknya akan lebih besar dibandingkan jika hanya fokus pada perawatan infrastruktur.

Selain itu, sektor-sektor yang terkait dengan kegiatan perjalanan dinas, seperti perhotelan dan transportasi, juga dapat terdampak dari kebijakan penghematan ini. Pengurangan anggaran perjalanan dinas, yang selama ini menjadi sumber pendapatan bagi sektor-sektor tersebut, bisa memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) dan menambah angka pengangguran. Shofie Azzahrah, Peneliti Next Policy, juga menekankan bahwa pemotongan anggaran secara agresif tanpa strategi yang matang bisa memperburuk perekonomian, karena belanja pemerintah berfungsi sebagai motor utama pertumbuhan ekonomi, terutama dalam mendorong konsumsi dan investasi.

Memang kebijakan ini bertujuan untuk menghemat anggaran negara guna membayar utang dan menjalankan program-program pemerintah, seperti Makan Bergizi Gratis, namun dampak jangka panjangnya terhadap perekonomian tetap menjadi perhatian. Sebagai contoh, pengurangan anggaran untuk daerah yang terus mengalami penurunan selama sepuluh tahun terakhir bisa semakin memperburuk kondisi keuangan daerah, yang sudah tertekan.

Beberapa ekonom berharap bahwa jika pemangkasan anggaran dilakukan secara selektif dan bijaksana, seperti mengurangi belanja yang tidak prioritas tanpa mengganggu sektor vital, maka dampak negatif dapat diminimalkan. Pemerintah juga diminta untuk memastikan bahwa layanan publik, terutama di sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, tidak terganggu oleh kebijakan efisiensi ini.

Meskipun kebijakan penghematan anggaran yang dikeluarkan oleh Presiden Prabowo Subianto bertujuan untuk memperbaiki keuangan negara, efisiensi yang dilakukan harus hati-hati dan selektif. Pemangkasan anggaran yang terlalu agresif berpotensi memperburuk perekonomian dan menurunkan daya beli masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah perlu memastikan bahwa pemotongan anggaran tidak mengganggu sektor-sektor vital yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. (Courtesy picture: Ilustrasi oleh penulis)