Fenomena Sewa iPhone Lebaran: Prestise Semu di Era Konsumerisme Simbolik

Last Updated: March 27, 2025By Tags: ,

Jakarta, sofund.news – Menjelang Lebaran 2024, tren persewaan iPhone mengalami peningkatan signifikan di berbagai daerah, menjadi pembicaraan hangat di media sosial. Banyak masyarakat yang rela menyewa smartphone premium tersebut hanya untuk ditenteng saat buka bersama atau dibawa bersilaturahmi. Fenomena unik ini memantik diskusi menarik di platform X (Twitter), termasuk cuitan viral dari akun @tanyakan*** yang mempertanyakan obsesi masyarakat terhadap produk “buah apel” tersebut.

Kebutuhan Pengakuan vs Nilai Guna

Menurut Drajat Tri Kartono, Sosiolog Universitas Sebelas Maret, fenomena ini merupakan manifestasi dari bisnis simbolik dalam masyarakat modern.

“Teknologi memiliki dua fungsi paradoksal,” jelas Drajat. “Pertama sebagai alat fungsional untuk komunikasi, dimana orang memilih berdasarkan spesifikasi dan harga terbaik. Kedua sebagai simbol status sosial, dimana merek tertentu dipilih untuk menciptakan diferensiasi kelas.”

Dalam konteks Lebaran, penggunaan iPhone sewaan lebih terkait dengan fungsi simbolik. “Ini menunjukkan betapa kebutuhan akan pengakuan sosial (social recognition) seringkali mengalahkan utilitas produk itu sendiri,” tambahnya. Fenomena ini menurutnya mencerminkan kegagapan masyarakat dalam menghadapi tekanan status sosial di momen-momen spesial seperti Lebaran.

Ketika Fantasi Mengaburkan Realita

Nurhadi, Dosen Sosiologi Antropologi UNS, melengkapi analisis ini dengan konsep hiperrealitas Jean Baudrillard.

“Masyarakat modern kerap menciptakan realitas tambahan melalui citra-citra artifisial,” papar Nurhadi. Dalam kasus iPhone sewaan, setidaknya ada tiga motif psikologis:

  1. Kompleks inferioritas – Tidak percaya diri dengan kondisi aktual
  2. Penyempurnaan citra – Keinginan mendokumentasikan momen dengan kualitas premium
  3. Peningkatan portofolio – Alat untuk mempercantik konten komersial

“Paradoksnya,” lanjut Nurhadi, “semakin sering seseorang bermain dengan fantasi status, semakin dalam ia terjebak dalam ketidakpuasan terhadap diri sendiri.”

Para ahli memperingatkan beberapa konsekuensi serius dari tren ini:

  • Disfungsi psikologis: Kebiasaan menyembunyikan realitas dapat memicu anxiety dan identity crisis
  • Ekonomi semu: Pengeluaran untuk prestise semata yang tidak produktif
  • Erosi kepercayaan: Risiko dicibir lingkungan sosial yang mengetahui kenyataan sebenarnya

Fenomena ini sebenarnya merupakan cerminan dari beberapa masalah mendasar masyarakat digital:

  1. Kultus materialisme yang mengukur prestise melalui kepemilikan benda
  2. Pressure sosial media yang mendorong performativitas identitas
  3. Konsumerisme instan sebagai solusi cepat untuk masalah identitas

Sebagai penutup, Drajat menegaskan, “Lebaran seharusnya tentang kejujuran dan silaturahmi, bukan panggung untuk memamerkan status palsu.” Sementara Nurhadi mengingatkan, “Kepercayaan diri yang dibangun di atas kepalsuan ibarat rumah di atas pasir – indah sampai gelombang realitas datang menerpa.”

Fenomena ini menyisakan pertanyaan mendalam: Sudahkah kita menjadi masyarakat yang lebih peduli pada penampilan daripada esensi, lebih menghargai simbol daripada substansi? Jawabannya mungkin ada pada kesadaran masing-masing individu dalam memaknai hakikat keberadaan di era yang serba simbolik ini.(Courtesy picture:ilustrasi Iphone)

Fenomena Sewa iPhone Lebaran: Prestise Semu di Era Konsumerisme Simbolik

Last Updated: March 27, 2025By Tags: ,

Jakarta, sofund.news – Menjelang Lebaran 2024, tren persewaan iPhone mengalami peningkatan signifikan di berbagai daerah, menjadi pembicaraan hangat di media sosial. Banyak masyarakat yang rela menyewa smartphone premium tersebut hanya untuk ditenteng saat buka bersama atau dibawa bersilaturahmi. Fenomena unik ini memantik diskusi menarik di platform X (Twitter), termasuk cuitan viral dari akun @tanyakan*** yang mempertanyakan obsesi masyarakat terhadap produk “buah apel” tersebut.

Kebutuhan Pengakuan vs Nilai Guna

Menurut Drajat Tri Kartono, Sosiolog Universitas Sebelas Maret, fenomena ini merupakan manifestasi dari bisnis simbolik dalam masyarakat modern.

“Teknologi memiliki dua fungsi paradoksal,” jelas Drajat. “Pertama sebagai alat fungsional untuk komunikasi, dimana orang memilih berdasarkan spesifikasi dan harga terbaik. Kedua sebagai simbol status sosial, dimana merek tertentu dipilih untuk menciptakan diferensiasi kelas.”

Dalam konteks Lebaran, penggunaan iPhone sewaan lebih terkait dengan fungsi simbolik. “Ini menunjukkan betapa kebutuhan akan pengakuan sosial (social recognition) seringkali mengalahkan utilitas produk itu sendiri,” tambahnya. Fenomena ini menurutnya mencerminkan kegagapan masyarakat dalam menghadapi tekanan status sosial di momen-momen spesial seperti Lebaran.

Ketika Fantasi Mengaburkan Realita

Nurhadi, Dosen Sosiologi Antropologi UNS, melengkapi analisis ini dengan konsep hiperrealitas Jean Baudrillard.

“Masyarakat modern kerap menciptakan realitas tambahan melalui citra-citra artifisial,” papar Nurhadi. Dalam kasus iPhone sewaan, setidaknya ada tiga motif psikologis:

  1. Kompleks inferioritas – Tidak percaya diri dengan kondisi aktual
  2. Penyempurnaan citra – Keinginan mendokumentasikan momen dengan kualitas premium
  3. Peningkatan portofolio – Alat untuk mempercantik konten komersial

“Paradoksnya,” lanjut Nurhadi, “semakin sering seseorang bermain dengan fantasi status, semakin dalam ia terjebak dalam ketidakpuasan terhadap diri sendiri.”

Para ahli memperingatkan beberapa konsekuensi serius dari tren ini:

  • Disfungsi psikologis: Kebiasaan menyembunyikan realitas dapat memicu anxiety dan identity crisis
  • Ekonomi semu: Pengeluaran untuk prestise semata yang tidak produktif
  • Erosi kepercayaan: Risiko dicibir lingkungan sosial yang mengetahui kenyataan sebenarnya

Fenomena ini sebenarnya merupakan cerminan dari beberapa masalah mendasar masyarakat digital:

  1. Kultus materialisme yang mengukur prestise melalui kepemilikan benda
  2. Pressure sosial media yang mendorong performativitas identitas
  3. Konsumerisme instan sebagai solusi cepat untuk masalah identitas

Sebagai penutup, Drajat menegaskan, “Lebaran seharusnya tentang kejujuran dan silaturahmi, bukan panggung untuk memamerkan status palsu.” Sementara Nurhadi mengingatkan, “Kepercayaan diri yang dibangun di atas kepalsuan ibarat rumah di atas pasir – indah sampai gelombang realitas datang menerpa.”

Fenomena ini menyisakan pertanyaan mendalam: Sudahkah kita menjadi masyarakat yang lebih peduli pada penampilan daripada esensi, lebih menghargai simbol daripada substansi? Jawabannya mungkin ada pada kesadaran masing-masing individu dalam memaknai hakikat keberadaan di era yang serba simbolik ini.(Courtesy picture:ilustrasi Iphone)