Gebyuran Bustaman 2025: Tradisi Perang Air dan Makan Bersama Sambut Ramadan di Semarang

Last Updated: February 25, 2025By Tags: , , ,

Semarang, Sofund.id –Ribuan warga Kampung Bustaman, Semarang, merayakan tradisi tahunan “Gebyuran Bustaman” dengan penuh keceriaan pada Minggu (23/2/2025). Acara perang air ini bukan sekadar permainan, melainkan memiliki makna mendalam sebagai simbol penyucian diri menjelang bulan Ramadan. Warga terlihat mencorat-coret wajah mereka dengan parem (bedak tradisional) yang telah diwarnai, sebelum akhirnya diguyur air. Lunturnya parem setelah perang air diartikan sebagai hilangnya dosa dan kembalinya kesucian diri.

Anita, Project Officer Gebyuran Bustaman, menjelaskan bahwa tradisi ini telah mengalami pembaruan dengan adanya ritual mencorat-coret wajah menggunakan parem. “Ini melambangkan bahwa sebagai manusia, kita pasti punya kesalahan. Setelah diguyur air, parem akan luntur, artinya kita kembali suci,” ujarnya. Tradisi ini sendiri sudah ada sejak tahun 1742, dipelopori oleh Kyai Bustam, yang kala itu memiliki kebiasaan memandikan cucu-cucunya di sumur menjelang Ramadan. “Gebyuran Bustaman berasal dari ritual urban legendaris yang dilakukan oleh leluhur kampung ini,” tambah Anita.

Tradisi unik ini juga mendapat apresiasi dari Wakil Dapil I Jawa Tengah Komisi VII DPR RI, Samuel Wattimena, yang turut serta merasakan keseruan perang air. Samuel bahkan memberikan nilai 8,5 dari skala 1-10 untuk acara ini. “Ini sangat menyenangkan. Di Jakarta, saya jarang menemukan acara yang begitu membaur seperti ini. Di sini, tidak ada batasan, saya benar-benar merasa menjadi bagian dari masyarakat,” ungkapnya. Samuel berencana membahas potensi tradisi ini dengan Kementerian Pariwisata dan UMKM, mengingat tugasnya sebagai anggota DPR yang membidangi pariwisata dan ekonomi kreatif. “Saya juga tertarik dengan pagelaran jaranan tadi. Kostumnya bisa menjadi inspirasi bagi perancang mode,” katanya.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang, Wing Wiyarso, menyebutkan bahwa Gebyuran Bustaman semakin tahun semakin meriah. Meski ada efisiensi anggaran, acara tetap berjalan sukses berkat dukungan donatur dan masyarakat. “Pemerintah Kota Semarang berkomitmen untuk menata acara ini lebih baik lagi agar bisa menjadi andalan kalender event kota,” ujarnya. Wing juga mengungkapkan bahwa tradisi ini sudah dua kali diusulkan sebagai warisan budaya tak benda. “Kami membutuhkan dukungan masyarakat, terutama bukti-bukti sejarah yang bisa memperkuat klaim bahwa tradisi ini sudah ada sejak lama,” tambahnya.

Setelah perang air usai, warga melanjutkan acara dengan makan bersama. Salah satu hidangan yang disajikan adalah gulai khas Bustaman, yang sudah menjadi legenda di Kota Semarang. Acara ini tidak hanya menjadi momen kebersamaan, tetapi juga memperkuat identitas budaya Kampung Bustaman sebagai destinasi wisata yang kaya akan tradisi.(Courtesy picture:dok Samuel W)

Gebyuran Bustaman 2025: Tradisi Perang Air dan Makan Bersama Sambut Ramadan di Semarang

Last Updated: February 25, 2025By Tags: , , ,

Semarang, Sofund.id –Ribuan warga Kampung Bustaman, Semarang, merayakan tradisi tahunan “Gebyuran Bustaman” dengan penuh keceriaan pada Minggu (23/2/2025). Acara perang air ini bukan sekadar permainan, melainkan memiliki makna mendalam sebagai simbol penyucian diri menjelang bulan Ramadan. Warga terlihat mencorat-coret wajah mereka dengan parem (bedak tradisional) yang telah diwarnai, sebelum akhirnya diguyur air. Lunturnya parem setelah perang air diartikan sebagai hilangnya dosa dan kembalinya kesucian diri.

Anita, Project Officer Gebyuran Bustaman, menjelaskan bahwa tradisi ini telah mengalami pembaruan dengan adanya ritual mencorat-coret wajah menggunakan parem. “Ini melambangkan bahwa sebagai manusia, kita pasti punya kesalahan. Setelah diguyur air, parem akan luntur, artinya kita kembali suci,” ujarnya. Tradisi ini sendiri sudah ada sejak tahun 1742, dipelopori oleh Kyai Bustam, yang kala itu memiliki kebiasaan memandikan cucu-cucunya di sumur menjelang Ramadan. “Gebyuran Bustaman berasal dari ritual urban legendaris yang dilakukan oleh leluhur kampung ini,” tambah Anita.

Tradisi unik ini juga mendapat apresiasi dari Wakil Dapil I Jawa Tengah Komisi VII DPR RI, Samuel Wattimena, yang turut serta merasakan keseruan perang air. Samuel bahkan memberikan nilai 8,5 dari skala 1-10 untuk acara ini. “Ini sangat menyenangkan. Di Jakarta, saya jarang menemukan acara yang begitu membaur seperti ini. Di sini, tidak ada batasan, saya benar-benar merasa menjadi bagian dari masyarakat,” ungkapnya. Samuel berencana membahas potensi tradisi ini dengan Kementerian Pariwisata dan UMKM, mengingat tugasnya sebagai anggota DPR yang membidangi pariwisata dan ekonomi kreatif. “Saya juga tertarik dengan pagelaran jaranan tadi. Kostumnya bisa menjadi inspirasi bagi perancang mode,” katanya.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang, Wing Wiyarso, menyebutkan bahwa Gebyuran Bustaman semakin tahun semakin meriah. Meski ada efisiensi anggaran, acara tetap berjalan sukses berkat dukungan donatur dan masyarakat. “Pemerintah Kota Semarang berkomitmen untuk menata acara ini lebih baik lagi agar bisa menjadi andalan kalender event kota,” ujarnya. Wing juga mengungkapkan bahwa tradisi ini sudah dua kali diusulkan sebagai warisan budaya tak benda. “Kami membutuhkan dukungan masyarakat, terutama bukti-bukti sejarah yang bisa memperkuat klaim bahwa tradisi ini sudah ada sejak lama,” tambahnya.

Setelah perang air usai, warga melanjutkan acara dengan makan bersama. Salah satu hidangan yang disajikan adalah gulai khas Bustaman, yang sudah menjadi legenda di Kota Semarang. Acara ini tidak hanya menjadi momen kebersamaan, tetapi juga memperkuat identitas budaya Kampung Bustaman sebagai destinasi wisata yang kaya akan tradisi.(Courtesy picture:dok Samuel W)