Hari Bumi: Dari Demonstrasi Akar Rumput hingga Seruan Global untuk Energi Bersih
Jakarta, Sofund.news – Setiap tahun, masyarakat global memperingati momen penting yang dikenal sebagai Hari Bumi, yang selalu jatuh pada tanggal 22 April. Tahun ini, perayaan tersebut dirayakan pada hari Selasa, 22 April 2025. Di berbagai belahan dunia, jutaan orang ikut serta dalam kampanye untuk melindungi planet tempat kita tinggal dari berbagai ancaman serius, seperti pencemaran lingkungan dan penggundulan hutan. Peringatan ini bukan hanya sekadar seremoni, melainkan menjadi pengingat akan pentingnya menjaga alam semesta yang rapuh ini. Tidak terasa, Hari Bumi telah diperingati selama lebih dari lima dekade, tepatnya 55 tahun sejak pertama kali digagas pada tahun 1970.
Asal mula Hari Bumi dapat ditelusuri ke dekade 1960-an, ketika masyarakat Amerika Serikat mulai menyadari bahwa polusi dan kerusakan lingkungan semakin memburuk. Pada tahun 1969, Senator Gaylord Nelson dari Wisconsin menjadi sosok penting yang mendorong munculnya gerakan lingkungan skala besar. Ia berupaya membuka mata pemerintah federal akan bahaya yang mengancam planet ini akibat ketidakterkendalian aktivitas manusia.
Nelson mendapatkan inspirasi dari gerakan mahasiswa yang pada masa itu tengah gencar menyuarakan penolakan terhadap Perang Vietnam. Ia membayangkan jika semangat kolektif dan demonstrasi besar tersebut dapat dialihkan untuk memperjuangkan lingkungan hidup, maka masyarakat luas akan lebih peduli terhadap kondisi Bumi. Ia mengusulkan sebuah aksi masif yang bersifat akar rumput, melibatkan banyak pihak dari berbagai latar belakang sosial dan usia.
Gagasan ini ia sampaikan dalam sebuah konferensi di Seattle pada musim gugur 1969. Ia mengajak publik untuk bersama-sama menyuarakan perlindungan lingkungan secara menyeluruh. Dalam perjalanannya, seorang aktivis muda bernama Denis Hayes dipilih sebagai koordinator nasional untuk kampanye besar ini. Hayes, yang pernah menjabat sebagai ketua badan eksekutif mahasiswa Universitas Stanford, memiliki jaringan luas di kalangan mahasiswa dan berhasil menyebarluaskan gagasan Hari Bumi ke berbagai penjuru negeri.
Dalam menentukan tanggal yang tepat untuk peringatan ini, Hayes dan timnya mempertimbangkan waktu antara liburan musim semi dan ujian akhir, dengan harapan dapat memaksimalkan partisipasi mahasiswa. Maka, ditetapkanlah 22 April sebagai tanggal Hari Bumi.
Tidak hanya mengandalkan kekuatan kampus, Hayes merekrut tim nasional yang terdiri dari 85 orang untuk menyebarkan ide ini ke komunitas yang lebih luas, termasuk organisasi keagamaan, kelompok sipil, dan media massa. Nama “Hari Bumi” pun diperkenalkan dan segera mendapatkan perhatian dari seluruh negeri, menjadikannya sebagai simbol penting dalam sejarah gerakan lingkungan modern.
Puncaknya terjadi pada 22 April 1970, ketika peringatan Hari Bumi pertama digelar serentak di berbagai kota besar Amerika Serikat seperti Los Angeles, Chicago, dan Philadelphia. Sebanyak 20 juta warga, yang saat itu mewakili 10 persen dari populasi AS, turun ke jalan, berkumpul di taman, dan mengikuti berbagai aksi di auditorium. Mereka menyuarakan kekhawatiran terhadap dampak industrialisasi selama lebih dari satu abad yang telah meninggalkan kerusakan besar bagi lingkungan.
Momentum ini berhasil membuka mata dunia. Semakin banyak orang yang menyadari bahwa pembangunan harus disertai dengan kepedulian terhadap lingkungan. Sejak saat itu, Hari Bumi tidak hanya diperingati di Amerika Serikat, tetapi menyebar ke berbagai penjuru dunia. Kini, peringatan ini telah menjangkau 192 negara, dengan lebih dari satu miliar orang terlibat dalam berbagai aksi.
Peringatan Hari Bumi bukan hanya tentang sejarah panjangnya, tetapi juga tentang urgensinya di masa kini. Bumi kita semakin rentan terhadap perubahan iklim, pencemaran, dan eksploitasi berlebihan. Oleh karena itu, Hari Bumi menjadi ajakan kolektif bagi umat manusia untuk merenungkan kembali peran masing-masing dalam menjaga keseimbangan ekosistem.
Tahun ini, Hari Bumi 2025 mengangkat tema “Our Power, Our Planet” atau dalam bahasa Indonesia berarti “Energi Kita, Planet Kita.” Fokus utamanya adalah seruan untuk meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan di seluruh dunia. Energi bersih, seperti tenaga surya dan angin, diyakini sebagai solusi konkret untuk mengatasi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil yang merusak.
Peringatan kali ini tidak hanya menekankan pentingnya penggunaan energi ramah lingkungan, tetapi juga mengajak masyarakat untuk mendidik diri, mengadvokasi perubahan, dan turut serta dalam gerakan global mendukung transisi energi. Targetnya adalah meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan hingga tiga kali lipat pada tahun 2030, demi masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan.
Apa yang menarik dari tema tahun ini adalah penekanan pada energi sebagai kekuatan pemersatu. Energi bersih tidak mengenal batas negara, tidak terjebak pada perbedaan ideologis, dan bisa diakses oleh siapa saja dari berbagai latar belakang. Dengan kata lain, energi terbarukan menjadi simbol harapan bahwa kerja sama global untuk menyelamatkan Bumi masih sangat mungkin dilakukan.
Sebagai penutup, Hari Bumi 2025 bukan hanya menjadi momentum untuk melihat ke belakang dan menghargai perjuangan para pelopor lingkungan, tetapi juga menjadi titik tolak baru untuk langkah-langkah nyata yang harus kita ambil bersama. Setiap individu memiliki peran, setiap komunitas memiliki kekuatan, dan setiap tindakan kecil jika dilakukan bersama-sama akan menghasilkan perubahan besar bagi Bumi yang kita cintai ini. (Courtsey Picture : Tangkapan Layar)
Hari Bumi: Dari Demonstrasi Akar Rumput hingga Seruan Global untuk Energi Bersih
Jakarta, Sofund.news – Setiap tahun, masyarakat global memperingati momen penting yang dikenal sebagai Hari Bumi, yang selalu jatuh pada tanggal 22 April. Tahun ini, perayaan tersebut dirayakan pada hari Selasa, 22 April 2025. Di berbagai belahan dunia, jutaan orang ikut serta dalam kampanye untuk melindungi planet tempat kita tinggal dari berbagai ancaman serius, seperti pencemaran lingkungan dan penggundulan hutan. Peringatan ini bukan hanya sekadar seremoni, melainkan menjadi pengingat akan pentingnya menjaga alam semesta yang rapuh ini. Tidak terasa, Hari Bumi telah diperingati selama lebih dari lima dekade, tepatnya 55 tahun sejak pertama kali digagas pada tahun 1970.
Asal mula Hari Bumi dapat ditelusuri ke dekade 1960-an, ketika masyarakat Amerika Serikat mulai menyadari bahwa polusi dan kerusakan lingkungan semakin memburuk. Pada tahun 1969, Senator Gaylord Nelson dari Wisconsin menjadi sosok penting yang mendorong munculnya gerakan lingkungan skala besar. Ia berupaya membuka mata pemerintah federal akan bahaya yang mengancam planet ini akibat ketidakterkendalian aktivitas manusia.
Nelson mendapatkan inspirasi dari gerakan mahasiswa yang pada masa itu tengah gencar menyuarakan penolakan terhadap Perang Vietnam. Ia membayangkan jika semangat kolektif dan demonstrasi besar tersebut dapat dialihkan untuk memperjuangkan lingkungan hidup, maka masyarakat luas akan lebih peduli terhadap kondisi Bumi. Ia mengusulkan sebuah aksi masif yang bersifat akar rumput, melibatkan banyak pihak dari berbagai latar belakang sosial dan usia.
Gagasan ini ia sampaikan dalam sebuah konferensi di Seattle pada musim gugur 1969. Ia mengajak publik untuk bersama-sama menyuarakan perlindungan lingkungan secara menyeluruh. Dalam perjalanannya, seorang aktivis muda bernama Denis Hayes dipilih sebagai koordinator nasional untuk kampanye besar ini. Hayes, yang pernah menjabat sebagai ketua badan eksekutif mahasiswa Universitas Stanford, memiliki jaringan luas di kalangan mahasiswa dan berhasil menyebarluaskan gagasan Hari Bumi ke berbagai penjuru negeri.
Dalam menentukan tanggal yang tepat untuk peringatan ini, Hayes dan timnya mempertimbangkan waktu antara liburan musim semi dan ujian akhir, dengan harapan dapat memaksimalkan partisipasi mahasiswa. Maka, ditetapkanlah 22 April sebagai tanggal Hari Bumi.
Tidak hanya mengandalkan kekuatan kampus, Hayes merekrut tim nasional yang terdiri dari 85 orang untuk menyebarkan ide ini ke komunitas yang lebih luas, termasuk organisasi keagamaan, kelompok sipil, dan media massa. Nama “Hari Bumi” pun diperkenalkan dan segera mendapatkan perhatian dari seluruh negeri, menjadikannya sebagai simbol penting dalam sejarah gerakan lingkungan modern.
Puncaknya terjadi pada 22 April 1970, ketika peringatan Hari Bumi pertama digelar serentak di berbagai kota besar Amerika Serikat seperti Los Angeles, Chicago, dan Philadelphia. Sebanyak 20 juta warga, yang saat itu mewakili 10 persen dari populasi AS, turun ke jalan, berkumpul di taman, dan mengikuti berbagai aksi di auditorium. Mereka menyuarakan kekhawatiran terhadap dampak industrialisasi selama lebih dari satu abad yang telah meninggalkan kerusakan besar bagi lingkungan.
Momentum ini berhasil membuka mata dunia. Semakin banyak orang yang menyadari bahwa pembangunan harus disertai dengan kepedulian terhadap lingkungan. Sejak saat itu, Hari Bumi tidak hanya diperingati di Amerika Serikat, tetapi menyebar ke berbagai penjuru dunia. Kini, peringatan ini telah menjangkau 192 negara, dengan lebih dari satu miliar orang terlibat dalam berbagai aksi.
Peringatan Hari Bumi bukan hanya tentang sejarah panjangnya, tetapi juga tentang urgensinya di masa kini. Bumi kita semakin rentan terhadap perubahan iklim, pencemaran, dan eksploitasi berlebihan. Oleh karena itu, Hari Bumi menjadi ajakan kolektif bagi umat manusia untuk merenungkan kembali peran masing-masing dalam menjaga keseimbangan ekosistem.
Tahun ini, Hari Bumi 2025 mengangkat tema “Our Power, Our Planet” atau dalam bahasa Indonesia berarti “Energi Kita, Planet Kita.” Fokus utamanya adalah seruan untuk meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan di seluruh dunia. Energi bersih, seperti tenaga surya dan angin, diyakini sebagai solusi konkret untuk mengatasi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil yang merusak.
Peringatan kali ini tidak hanya menekankan pentingnya penggunaan energi ramah lingkungan, tetapi juga mengajak masyarakat untuk mendidik diri, mengadvokasi perubahan, dan turut serta dalam gerakan global mendukung transisi energi. Targetnya adalah meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan hingga tiga kali lipat pada tahun 2030, demi masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan.
Apa yang menarik dari tema tahun ini adalah penekanan pada energi sebagai kekuatan pemersatu. Energi bersih tidak mengenal batas negara, tidak terjebak pada perbedaan ideologis, dan bisa diakses oleh siapa saja dari berbagai latar belakang. Dengan kata lain, energi terbarukan menjadi simbol harapan bahwa kerja sama global untuk menyelamatkan Bumi masih sangat mungkin dilakukan.
Sebagai penutup, Hari Bumi 2025 bukan hanya menjadi momentum untuk melihat ke belakang dan menghargai perjuangan para pelopor lingkungan, tetapi juga menjadi titik tolak baru untuk langkah-langkah nyata yang harus kita ambil bersama. Setiap individu memiliki peran, setiap komunitas memiliki kekuatan, dan setiap tindakan kecil jika dilakukan bersama-sama akan menghasilkan perubahan besar bagi Bumi yang kita cintai ini. (Courtsey Picture : Tangkapan Layar)