Indonesia Negosiasikan Tarif Trump: Strategi Komprehensif Hadapi Tekanan Dagang dari AS
Jakarta, Sofund.news – Pemerintah Indonesia resmi memulai tahap awal negosiasi dengan Amerika Serikat terkait pemberlakuan tarif Trump, yaitu kebijakan tarif tinggi atas berbagai produk impor yang dikenakan oleh AS. Negosiasi yang berlangsung pada Jumat, 18 April 2025 ini dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, didampingi Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono dan Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional Mari Elka Pangestu. Mereka bertemu langsung dengan perwakilan dari US Trade Representative (USTR) serta US Secretary of Commerce.
Dalam pertemuan tersebut, pemerintah Indonesia menegaskan posisi daya saing perdagangan nasional yang kuat, tercermin dari neraca perdagangan yang positif dengan sejumlah negara mitra utama, termasuk Amerika Serikat dan India. Indonesia berkomitmen untuk memperoleh tarif yang lebih adil dan kompetitif dibanding negara pesaing lain, terutama dalam ekspor produk seperti garmen, alas kaki, furniture, dan udang. Saat ini, produk-produk tersebut dikenakan tarif tinggi, yaitu 37 persen, bahkan ditambah 10 persen untuk produk tertentu, sehingga total tarif mencapai 47 persen. Kenaikan ini dikhawatirkan menekan biaya produksi dan ekspor Indonesia, karena pembeli asing meminta agar beban tambahan tarif tersebut dibagi dengan eksportir dari Indonesia.
Amerika Serikat sendiri menyuarakan keinginan agar terjadi keseimbangan dalam kebijakan tarif dan non-tarif antara kedua negara. Pemerintah Indonesia merespons hal tersebut dengan menyampaikan dokumen resmi sebagai bentuk keseriusan dalam membahas isu-isu teknis perdagangan. Kedua pihak menyepakati kerangka negosiasi selama 60 hari ke depan yang akan mencakup 1 hingga 3 putaran perundingan. Kesepakatan akhir ditargetkan dituangkan dalam format perjanjian menyeluruh yang meliputi aspek perdagangan, investasi, mineral penting, serta ketahanan rantai pasok.
Sebagai langkah konkret menjaga keseimbangan neraca dagang, Indonesia menawarkan peningkatan impor energi dari AS, termasuk LPG, bensin, dan minyak mentah. Selain itu, pemerintah juga berencana memperluas impor produk agrikultur AS seperti gandum, kedelai, bungkil kedelai, dan susu kedelai, yang diperkirakan mencapai nilai 18-19 miliar dolar AS.
Dalam konteks hilirisasi dan investasi, Indonesia menawarkan kerja sama strategis dengan AS di sektor critical minerals, sejalan dengan upaya penguatan posisi dalam rantai pasok global. Di sisi lain, pemerintah juga berkomitmen memfasilitasi keberadaan perusahaan-perusahaan Amerika Serikat di Indonesia, termasuk dalam perizinan dan pemberian insentif.
Pentingnya kerja sama di bidang ekonomi digital turut diangkat dalam negosiasi ini. Pemerintah mendorong pendekatan business to business untuk investasi, serta memperkuat kerja sama pengembangan sumber daya manusia dalam bidang pendidikan, teknologi, dan layanan keuangan. Meski demikian, pemerintah AS juga menyampaikan sejumlah keberatan terhadap kebijakan domestik Indonesia, seperti kesulitan dalam memperoleh sertifikat halal, penerapan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN), serta kebijakan subsidi bagi UMKM.
Sebagai upaya antisipatif, pemerintah Indonesia menyiapkan langkah diversifikasi pasar ekspor dan relokasi industri untuk mengurangi ketergantungan pada pasar AS. Sektor semikonduktor dan mineral kritis menjadi prioritas dalam strategi ini. Selain itu, pemerintah juga mempercepat pembentukan kemitraan ekonomi baru dengan negara-negara seperti Korea Selatan, Jepang, Australia, dan sesama anggota ASEAN. Dukungan lebih lanjut diberikan melalui pembentukan tiga satuan tugas (satgas) yang fokus pada efisiensi industri, daya saing, dan deregulasi ekonomi untuk sektor-sektor terdampak seperti industri padat karya dan perikanan.
Negosiasi ini menjadi titik krusial dalam mempertahankan posisi strategis Indonesia di tengah dinamika kebijakan dagang global, sekaligus membuka peluang untuk penguatan kerja sama bilateral yang lebih setara dan berkelanjutan.(Courtesy picture:tangkapan layar Zoom)
Indonesia Negosiasikan Tarif Trump: Strategi Komprehensif Hadapi Tekanan Dagang dari AS
Jakarta, Sofund.news – Pemerintah Indonesia resmi memulai tahap awal negosiasi dengan Amerika Serikat terkait pemberlakuan tarif Trump, yaitu kebijakan tarif tinggi atas berbagai produk impor yang dikenakan oleh AS. Negosiasi yang berlangsung pada Jumat, 18 April 2025 ini dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, didampingi Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono dan Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional Mari Elka Pangestu. Mereka bertemu langsung dengan perwakilan dari US Trade Representative (USTR) serta US Secretary of Commerce.
Dalam pertemuan tersebut, pemerintah Indonesia menegaskan posisi daya saing perdagangan nasional yang kuat, tercermin dari neraca perdagangan yang positif dengan sejumlah negara mitra utama, termasuk Amerika Serikat dan India. Indonesia berkomitmen untuk memperoleh tarif yang lebih adil dan kompetitif dibanding negara pesaing lain, terutama dalam ekspor produk seperti garmen, alas kaki, furniture, dan udang. Saat ini, produk-produk tersebut dikenakan tarif tinggi, yaitu 37 persen, bahkan ditambah 10 persen untuk produk tertentu, sehingga total tarif mencapai 47 persen. Kenaikan ini dikhawatirkan menekan biaya produksi dan ekspor Indonesia, karena pembeli asing meminta agar beban tambahan tarif tersebut dibagi dengan eksportir dari Indonesia.
Amerika Serikat sendiri menyuarakan keinginan agar terjadi keseimbangan dalam kebijakan tarif dan non-tarif antara kedua negara. Pemerintah Indonesia merespons hal tersebut dengan menyampaikan dokumen resmi sebagai bentuk keseriusan dalam membahas isu-isu teknis perdagangan. Kedua pihak menyepakati kerangka negosiasi selama 60 hari ke depan yang akan mencakup 1 hingga 3 putaran perundingan. Kesepakatan akhir ditargetkan dituangkan dalam format perjanjian menyeluruh yang meliputi aspek perdagangan, investasi, mineral penting, serta ketahanan rantai pasok.
Sebagai langkah konkret menjaga keseimbangan neraca dagang, Indonesia menawarkan peningkatan impor energi dari AS, termasuk LPG, bensin, dan minyak mentah. Selain itu, pemerintah juga berencana memperluas impor produk agrikultur AS seperti gandum, kedelai, bungkil kedelai, dan susu kedelai, yang diperkirakan mencapai nilai 18-19 miliar dolar AS.
Dalam konteks hilirisasi dan investasi, Indonesia menawarkan kerja sama strategis dengan AS di sektor critical minerals, sejalan dengan upaya penguatan posisi dalam rantai pasok global. Di sisi lain, pemerintah juga berkomitmen memfasilitasi keberadaan perusahaan-perusahaan Amerika Serikat di Indonesia, termasuk dalam perizinan dan pemberian insentif.
Pentingnya kerja sama di bidang ekonomi digital turut diangkat dalam negosiasi ini. Pemerintah mendorong pendekatan business to business untuk investasi, serta memperkuat kerja sama pengembangan sumber daya manusia dalam bidang pendidikan, teknologi, dan layanan keuangan. Meski demikian, pemerintah AS juga menyampaikan sejumlah keberatan terhadap kebijakan domestik Indonesia, seperti kesulitan dalam memperoleh sertifikat halal, penerapan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN), serta kebijakan subsidi bagi UMKM.
Sebagai upaya antisipatif, pemerintah Indonesia menyiapkan langkah diversifikasi pasar ekspor dan relokasi industri untuk mengurangi ketergantungan pada pasar AS. Sektor semikonduktor dan mineral kritis menjadi prioritas dalam strategi ini. Selain itu, pemerintah juga mempercepat pembentukan kemitraan ekonomi baru dengan negara-negara seperti Korea Selatan, Jepang, Australia, dan sesama anggota ASEAN. Dukungan lebih lanjut diberikan melalui pembentukan tiga satuan tugas (satgas) yang fokus pada efisiensi industri, daya saing, dan deregulasi ekonomi untuk sektor-sektor terdampak seperti industri padat karya dan perikanan.
Negosiasi ini menjadi titik krusial dalam mempertahankan posisi strategis Indonesia di tengah dinamika kebijakan dagang global, sekaligus membuka peluang untuk penguatan kerja sama bilateral yang lebih setara dan berkelanjutan.(Courtesy picture:tangkapan layar Zoom)