Kasus eFishery: Pelajaran Penting tentang Tata Kelola Bisnis Digital

Last Updated: January 25, 2025By Tags: , , ,

Jakarta, SOFUND.news- Perusahaan startup sektor perikanan, eFishery, tengah menjadi sorotan tajam akibat dugaan penggelapan dana dan manipulasi laporan keuangan yang mencapai nilai fantastis, yaitu USD 600 juta atau sekitar Rp 9,7 triliun. Kasus ini terungkap melalui penyelidikan internal yang menunjukkan adanya penggelembungan pendapatan perusahaan dari Januari hingga September 2024. Dalam laporan yang dilaporkan ke investor, eFishery mengklaim meraih pendapatan USD 752 juta dan laba USD 16 juta, padahal hasil penyelidikan justru menunjukkan kerugian sebesar USD 35,4 juta dengan pendapatan hanya USD 157 juta.

Penyelidikan mendalam yang didukung oleh investor seperti SoftBank Group Corp dan Temasek Holdings Pte ini mengungkapkan bahwa eFishery telah memalsukan data keuangan selama beberapa tahun. Perbedaan signifikan antara laporan internal dan eksternal ditemukan. Contohnya, laporan eksternal menunjukkan pendapatan eFishery sebesar Rp 12,3 triliun dalam periode 9 bulan pada 2024, sedangkan laporan internal hanya mencatat Rp 2,6 triliun. Selain itu, klaim bahwa eFishery memiliki lebih dari 400.000 fasilitas pakan juga terbantahkan, karena jumlah sebenarnya hanya sekitar 24.000.

Pada September 2024, Garis Kemiskinan nasional tercatat sebesar Rp 595.242 per kapita per bulan, naik sebesar 2,11 persen dibandingkan dengan Maret 2024 yang sebesar Rp 582.932 per kapita per bulan.Secara wilayah, Garis Kemiskinan di perkotaan tercatat lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan. Pada September 2024, Garis Kemiskinan di perkotaan mencapai Rp 615.763 per kapita per bulan, meningkat 2,52 persen dari Rp 600.507 per kapita pada Maret 2024. Sementara itu, di perdesaan, Garis Kemiskinan tercatat sebesar Rp 566.655 per kapita per bulan, naik 1,47 persen dari Rp 558.447 per kapita pada periode sebelumnya. Perbedaan ini mencerminkan tingginya kebutuhan biaya hidup di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan. Manipulasi ini disebut sebagai upaya untuk menarik pendanaan dari investor dan mempertahankan status perusahaan sebagai unicorn. Laporan juga mengungkap adanya pendirian lima perusahaan fiktif atas nama orang lain oleh mantan CEO, Gibran Huzaifah, untuk mendukung pencatatan keuangan palsu. Sejak 2018, upaya sistematis ini diduga dilakukan guna menciptakan ilusi pertumbuhan pendapatan yang pesat.

Dampak Besar bagi Startup dan Kepercayaan Publik

Kasus ini membawa dampak serius, tidak hanya bagi eFishery tetapi juga bagi industri startup digital di Indonesia secara keseluruhan. Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menilai kasus ini dapat menggerus kepercayaan masyarakat terhadap startup sebagai solusi berbagai masalah sosial dan ekonomi. Fraud seperti ini berpotensi memicu kecurigaan masyarakat terhadap bisnis digital yang sebelumnya dianggap mampu memberikan solusi yang aman dan andal.

Dari sisi investor, kasus ini juga menciptakan ketidakpastian baru terhadap iklim investasi startup di Indonesia. Nailul menyoroti bahwa metode penilaian valuasi startup yang tidak valid menjadi salah satu alasan mengapa banyak perusahaan digital kesulitan memperoleh pendanaan. Dengan munculnya kasus ini, investor akan semakin waspada dan berpikir ulang sebelum menanamkan modalnya.

Untuk mengatasi krisis, eFishery telah mengambil langkah drastis dengan membebastugaskan CEO sekaligus pendiri perusahaan, Gibran Huzaifah, serta Chief Product Officer (CPO) Chrisna Aditya, pada Desember 2024. Posisi CEO sementara kini dipegang oleh Adhy Wibisono, yang sebelumnya menjabat sebagai CFO, sementara Albertus Sasmitra ditunjuk sebagai CFO interim. Langkah ini dilakukan untuk memperbaiki tata kelola perusahaan dan memulihkan kepercayaan publik serta investor.

Kasus eFishery menjadi pengingat bahwa transparansi dan tata kelola yang baik adalah fondasi utama dalam membangun bisnis, terutama di era digital. Manipulasi laporan keuangan seperti ini tidak hanya merugikan investor tetapi juga mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap startup sebagai solusi inovatif. Untuk industri startup di Indonesia, ini adalah momentum penting untuk mengevaluasi ulang mekanisme penilaian valuasi dan meningkatkan pengawasan. Kasus eFishery menunjukkan bahwa pertumbuhan pesat tanpa dasar yang kokoh tidak hanya rapuh tetapi juga berisiko membawa kehancuran besar. Ke depan, langkah konkret dalam meningkatkan akuntabilitas dan kepercayaan harus menjadi prioritas utama bagi pelaku bisnis digital di Tanah Air. (Courtesy picture: Ilustrasi oleh penulis)

Kasus eFishery: Pelajaran Penting tentang Tata Kelola Bisnis Digital

Last Updated: January 25, 2025By Tags: , , ,

Jakarta, SOFUND.news- Perusahaan startup sektor perikanan, eFishery, tengah menjadi sorotan tajam akibat dugaan penggelapan dana dan manipulasi laporan keuangan yang mencapai nilai fantastis, yaitu USD 600 juta atau sekitar Rp 9,7 triliun. Kasus ini terungkap melalui penyelidikan internal yang menunjukkan adanya penggelembungan pendapatan perusahaan dari Januari hingga September 2024. Dalam laporan yang dilaporkan ke investor, eFishery mengklaim meraih pendapatan USD 752 juta dan laba USD 16 juta, padahal hasil penyelidikan justru menunjukkan kerugian sebesar USD 35,4 juta dengan pendapatan hanya USD 157 juta.

Penyelidikan mendalam yang didukung oleh investor seperti SoftBank Group Corp dan Temasek Holdings Pte ini mengungkapkan bahwa eFishery telah memalsukan data keuangan selama beberapa tahun. Perbedaan signifikan antara laporan internal dan eksternal ditemukan. Contohnya, laporan eksternal menunjukkan pendapatan eFishery sebesar Rp 12,3 triliun dalam periode 9 bulan pada 2024, sedangkan laporan internal hanya mencatat Rp 2,6 triliun. Selain itu, klaim bahwa eFishery memiliki lebih dari 400.000 fasilitas pakan juga terbantahkan, karena jumlah sebenarnya hanya sekitar 24.000.

Pada September 2024, Garis Kemiskinan nasional tercatat sebesar Rp 595.242 per kapita per bulan, naik sebesar 2,11 persen dibandingkan dengan Maret 2024 yang sebesar Rp 582.932 per kapita per bulan.Secara wilayah, Garis Kemiskinan di perkotaan tercatat lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan. Pada September 2024, Garis Kemiskinan di perkotaan mencapai Rp 615.763 per kapita per bulan, meningkat 2,52 persen dari Rp 600.507 per kapita pada Maret 2024. Sementara itu, di perdesaan, Garis Kemiskinan tercatat sebesar Rp 566.655 per kapita per bulan, naik 1,47 persen dari Rp 558.447 per kapita pada periode sebelumnya. Perbedaan ini mencerminkan tingginya kebutuhan biaya hidup di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan. Manipulasi ini disebut sebagai upaya untuk menarik pendanaan dari investor dan mempertahankan status perusahaan sebagai unicorn. Laporan juga mengungkap adanya pendirian lima perusahaan fiktif atas nama orang lain oleh mantan CEO, Gibran Huzaifah, untuk mendukung pencatatan keuangan palsu. Sejak 2018, upaya sistematis ini diduga dilakukan guna menciptakan ilusi pertumbuhan pendapatan yang pesat.

Dampak Besar bagi Startup dan Kepercayaan Publik

Kasus ini membawa dampak serius, tidak hanya bagi eFishery tetapi juga bagi industri startup digital di Indonesia secara keseluruhan. Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menilai kasus ini dapat menggerus kepercayaan masyarakat terhadap startup sebagai solusi berbagai masalah sosial dan ekonomi. Fraud seperti ini berpotensi memicu kecurigaan masyarakat terhadap bisnis digital yang sebelumnya dianggap mampu memberikan solusi yang aman dan andal.

Dari sisi investor, kasus ini juga menciptakan ketidakpastian baru terhadap iklim investasi startup di Indonesia. Nailul menyoroti bahwa metode penilaian valuasi startup yang tidak valid menjadi salah satu alasan mengapa banyak perusahaan digital kesulitan memperoleh pendanaan. Dengan munculnya kasus ini, investor akan semakin waspada dan berpikir ulang sebelum menanamkan modalnya.

Untuk mengatasi krisis, eFishery telah mengambil langkah drastis dengan membebastugaskan CEO sekaligus pendiri perusahaan, Gibran Huzaifah, serta Chief Product Officer (CPO) Chrisna Aditya, pada Desember 2024. Posisi CEO sementara kini dipegang oleh Adhy Wibisono, yang sebelumnya menjabat sebagai CFO, sementara Albertus Sasmitra ditunjuk sebagai CFO interim. Langkah ini dilakukan untuk memperbaiki tata kelola perusahaan dan memulihkan kepercayaan publik serta investor.

Kasus eFishery menjadi pengingat bahwa transparansi dan tata kelola yang baik adalah fondasi utama dalam membangun bisnis, terutama di era digital. Manipulasi laporan keuangan seperti ini tidak hanya merugikan investor tetapi juga mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap startup sebagai solusi inovatif. Untuk industri startup di Indonesia, ini adalah momentum penting untuk mengevaluasi ulang mekanisme penilaian valuasi dan meningkatkan pengawasan. Kasus eFishery menunjukkan bahwa pertumbuhan pesat tanpa dasar yang kokoh tidak hanya rapuh tetapi juga berisiko membawa kehancuran besar. Ke depan, langkah konkret dalam meningkatkan akuntabilitas dan kepercayaan harus menjadi prioritas utama bagi pelaku bisnis digital di Tanah Air. (Courtesy picture: Ilustrasi oleh penulis)