Keindahan Kaligrafi Arab: Warisan Budaya dan Perkembangannya di Indonesia

Last Updated: March 10, 2025By Tags: ,

Sofund.news – Kaligrafi Arab merupakan salah satu bentuk seni tulis yang memiliki keterkaitan erat dengan budaya Islam. Keindahannya tidak hanya ditemukan di masjid-masjid, tetapi juga di berbagai institusi pendidikan berbasis agama Islam. Seni ini telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Muslim, termasuk di Indonesia, di mana berbagai perlombaan kaligrafi sering diadakan untuk anak-anak dan dewasa.

Secara umum, kaligrafi sering diidentikkan dengan seni menggambar ayat-ayat Al-Qur’an menggunakan aksara Arab. Namun, lebih dari sekadar tulisan indah, kaligrafi memiliki makna historis yang mendalam dan telah diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya takbenda pada tahun 2021. Pengakuan ini menegaskan bahwa kaligrafi bukan hanya sekadar seni dekoratif, tetapi juga bagian dari sejarah dan identitas budaya Islam.

Perkembangan kaligrafi Arab berawal dari kemunculan tulisan Arab yang mulai berkembang bersamaan dengan lahirnya Islam pada abad ke-6 Masehi. Tulisan ini semakin berkembang seiring dengan pencatatan ayat-ayat wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW, yang kemudian dikompilasi menjadi Al-Qur’an. Dari sinilah seni kaligrafi lahir sebagai bentuk keindahan dalam menuliskan wahyu Ilahi.

Secara etimologis, istilah “kaligrafi” berasal dari kata Yunani “kalligraphia,” yang terdiri dari “kalios” (indah) dan “graphia” (tulisan atau coretan). Dalam konteks Islam, kaligrafi menjadi medium utama dalam menampilkan ayat-ayat suci dengan cara yang estetis dan penuh makna.

Terdapat beberapa gaya utama dalam kaligrafi Arab, di antaranya adalah Naskhi, Tsuluts, Rayhani, Diwani, Ta’liq Farisi, Koufi, dan Riq’ah. Setiap gaya memiliki karakteristik unik yang membedakannya satu sama lain. Misalnya, Naskhi dikenal dengan bentuknya yang mudah dibaca dan sering digunakan dalam penulisan mushaf Al-Qur’an. Tsuluts, yang berkembang sejak abad ke-7, lebih sering ditemukan sebagai elemen dekoratif dalam manuskrip dan arsitektur masjid. Sementara itu, Rayhani merupakan gabungan dari Naskhi dan Tsuluts, yang pertama kali diperkenalkan oleh Ali Ibnu Al Ubydah Al Rayhani pada abad ke-9.

Beberapa gaya lainnya memiliki fungsi yang lebih spesifik. Diwani, misalnya, berkembang di Turki dan digunakan dalam dokumen resmi Kesultanan Utsmani. Ta’liq Farisi, dengan ciri khas huruf yang condong ke kanan dan ketebalan yang bervariasi, menjadi tulisan resmi di Persia (kini Iran). Koufi dikenal dengan bentuk geometrisnya yang kaku dan sering ditemukan dalam ukiran mata uang, tekstil, serta arsitektur masjid. Sementara itu, Riq’ah menjadi salah satu bentuk tulisan paling umum dalam bahasa Arab karena kemudahan dalam penulisannya.

Di Indonesia, kaligrafi telah menjadi bagian dari sejarah masuknya Islam ke Nusantara. Hal ini dibuktikan dengan adanya tulisan kaligrafi pada makam-makam kerajaan Islam kuno, seperti di Aceh, Mojokerto, Cirebon, Ternate, serta berbagai wilayah lain di Jawa dan Madura. Lebih dari sekadar ornamen, kaligrafi juga berfungsi sebagai media penulisan undang-undang, naskah Melayu, perjanjian resmi, hingga mushaf Al-Qur’an.

Dalam perkembangannya, kaligrafi tidak hanya berfungsi sebagai seni tulis yang berkaidah, tetapi juga mengalami transformasi menjadi bagian dari seni rupa. Salah satu bentuk seni kaligrafi yang berkembang di Indonesia adalah seni lukis kaca khas Cirebon, di mana ayat-ayat Al-Qur’an digoreskan dengan gaya kaligrafi yang khas. Pada tahun 1979, Ahmad Sadali menjadi salah satu pelopor yang memperkenalkan kaligrafi dalam lukisan modern di Indonesia.

Namun, dalam dunia seni lukis Islam, terdapat kendala dari sisi syariat yang melarang penggambaran makhluk bernyawa. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, dan Muslim, banyak ulama yang mengeluarkan fatwa bahwa menggambar makhluk hidup adalah haram. Akibatnya, banyak seniman Islam memilih untuk menghindari objek berbentuk manusia atau hewan dan lebih fokus pada seni abstrak serta kaligrafi.

Ketika Islam semakin berkembang di Indonesia, seni kaligrafi pun mendapat ruang baru dalam dunia seni rupa. Pada abad ke-18 hingga 20, kaligrafi tidak hanya hadir dalam bentuk tulisan indah, tetapi juga mulai dipadukan dengan elemen visual art. Para seniman dituntut untuk mengeksplorasi pola geometri dalam tulisan, menciptakan komposisi lengkung yang harmonis, serta mengembangkan konsep artistik yang lebih kreatif.

UNESCO pada tahun 2021 secara resmi memasukkan kaligrafi Arab ke dalam daftar warisan budaya takbenda dunia. Pengakuan ini diberikan kepada beberapa negara, termasuk Arab Saudi, Mesir, Irak, Yordania, Maroko, dan Uni Emirat Arab. Dalam pernyataannya, UNESCO menekankan bahwa kaligrafi Arab adalah bentuk seni yang mengutamakan keseimbangan, keindahan, dan harmoni dalam setiap goresannya. Keunikan kaligrafi terletak pada kemampuannya untuk meregangkan, mengubah, dan menghubungkan huruf-huruf Arab dengan cara yang menciptakan motif estetis yang khas.

Kaligrafi terus berkembang sebagai bagian dari seni dan budaya Islam. Di berbagai negara, seni ini tidak hanya diwariskan secara turun-temurun, tetapi juga diajarkan secara formal dalam institusi pendidikan. Dengan adanya pengakuan dunia terhadap kaligrafi Arab, seni ini diharapkan semakin mendapat perhatian dan terus berkembang sebagai bentuk ekspresi budaya yang penuh makna.(Courtesy picture:Ilustrasi penulis)

Keindahan Kaligrafi Arab: Warisan Budaya dan Perkembangannya di Indonesia

Last Updated: March 10, 2025By Tags: ,

Sofund.news – Kaligrafi Arab merupakan salah satu bentuk seni tulis yang memiliki keterkaitan erat dengan budaya Islam. Keindahannya tidak hanya ditemukan di masjid-masjid, tetapi juga di berbagai institusi pendidikan berbasis agama Islam. Seni ini telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Muslim, termasuk di Indonesia, di mana berbagai perlombaan kaligrafi sering diadakan untuk anak-anak dan dewasa.

Secara umum, kaligrafi sering diidentikkan dengan seni menggambar ayat-ayat Al-Qur’an menggunakan aksara Arab. Namun, lebih dari sekadar tulisan indah, kaligrafi memiliki makna historis yang mendalam dan telah diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya takbenda pada tahun 2021. Pengakuan ini menegaskan bahwa kaligrafi bukan hanya sekadar seni dekoratif, tetapi juga bagian dari sejarah dan identitas budaya Islam.

Perkembangan kaligrafi Arab berawal dari kemunculan tulisan Arab yang mulai berkembang bersamaan dengan lahirnya Islam pada abad ke-6 Masehi. Tulisan ini semakin berkembang seiring dengan pencatatan ayat-ayat wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW, yang kemudian dikompilasi menjadi Al-Qur’an. Dari sinilah seni kaligrafi lahir sebagai bentuk keindahan dalam menuliskan wahyu Ilahi.

Secara etimologis, istilah “kaligrafi” berasal dari kata Yunani “kalligraphia,” yang terdiri dari “kalios” (indah) dan “graphia” (tulisan atau coretan). Dalam konteks Islam, kaligrafi menjadi medium utama dalam menampilkan ayat-ayat suci dengan cara yang estetis dan penuh makna.

Terdapat beberapa gaya utama dalam kaligrafi Arab, di antaranya adalah Naskhi, Tsuluts, Rayhani, Diwani, Ta’liq Farisi, Koufi, dan Riq’ah. Setiap gaya memiliki karakteristik unik yang membedakannya satu sama lain. Misalnya, Naskhi dikenal dengan bentuknya yang mudah dibaca dan sering digunakan dalam penulisan mushaf Al-Qur’an. Tsuluts, yang berkembang sejak abad ke-7, lebih sering ditemukan sebagai elemen dekoratif dalam manuskrip dan arsitektur masjid. Sementara itu, Rayhani merupakan gabungan dari Naskhi dan Tsuluts, yang pertama kali diperkenalkan oleh Ali Ibnu Al Ubydah Al Rayhani pada abad ke-9.

Beberapa gaya lainnya memiliki fungsi yang lebih spesifik. Diwani, misalnya, berkembang di Turki dan digunakan dalam dokumen resmi Kesultanan Utsmani. Ta’liq Farisi, dengan ciri khas huruf yang condong ke kanan dan ketebalan yang bervariasi, menjadi tulisan resmi di Persia (kini Iran). Koufi dikenal dengan bentuk geometrisnya yang kaku dan sering ditemukan dalam ukiran mata uang, tekstil, serta arsitektur masjid. Sementara itu, Riq’ah menjadi salah satu bentuk tulisan paling umum dalam bahasa Arab karena kemudahan dalam penulisannya.

Di Indonesia, kaligrafi telah menjadi bagian dari sejarah masuknya Islam ke Nusantara. Hal ini dibuktikan dengan adanya tulisan kaligrafi pada makam-makam kerajaan Islam kuno, seperti di Aceh, Mojokerto, Cirebon, Ternate, serta berbagai wilayah lain di Jawa dan Madura. Lebih dari sekadar ornamen, kaligrafi juga berfungsi sebagai media penulisan undang-undang, naskah Melayu, perjanjian resmi, hingga mushaf Al-Qur’an.

Dalam perkembangannya, kaligrafi tidak hanya berfungsi sebagai seni tulis yang berkaidah, tetapi juga mengalami transformasi menjadi bagian dari seni rupa. Salah satu bentuk seni kaligrafi yang berkembang di Indonesia adalah seni lukis kaca khas Cirebon, di mana ayat-ayat Al-Qur’an digoreskan dengan gaya kaligrafi yang khas. Pada tahun 1979, Ahmad Sadali menjadi salah satu pelopor yang memperkenalkan kaligrafi dalam lukisan modern di Indonesia.

Namun, dalam dunia seni lukis Islam, terdapat kendala dari sisi syariat yang melarang penggambaran makhluk bernyawa. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, dan Muslim, banyak ulama yang mengeluarkan fatwa bahwa menggambar makhluk hidup adalah haram. Akibatnya, banyak seniman Islam memilih untuk menghindari objek berbentuk manusia atau hewan dan lebih fokus pada seni abstrak serta kaligrafi.

Ketika Islam semakin berkembang di Indonesia, seni kaligrafi pun mendapat ruang baru dalam dunia seni rupa. Pada abad ke-18 hingga 20, kaligrafi tidak hanya hadir dalam bentuk tulisan indah, tetapi juga mulai dipadukan dengan elemen visual art. Para seniman dituntut untuk mengeksplorasi pola geometri dalam tulisan, menciptakan komposisi lengkung yang harmonis, serta mengembangkan konsep artistik yang lebih kreatif.

UNESCO pada tahun 2021 secara resmi memasukkan kaligrafi Arab ke dalam daftar warisan budaya takbenda dunia. Pengakuan ini diberikan kepada beberapa negara, termasuk Arab Saudi, Mesir, Irak, Yordania, Maroko, dan Uni Emirat Arab. Dalam pernyataannya, UNESCO menekankan bahwa kaligrafi Arab adalah bentuk seni yang mengutamakan keseimbangan, keindahan, dan harmoni dalam setiap goresannya. Keunikan kaligrafi terletak pada kemampuannya untuk meregangkan, mengubah, dan menghubungkan huruf-huruf Arab dengan cara yang menciptakan motif estetis yang khas.

Kaligrafi terus berkembang sebagai bagian dari seni dan budaya Islam. Di berbagai negara, seni ini tidak hanya diwariskan secara turun-temurun, tetapi juga diajarkan secara formal dalam institusi pendidikan. Dengan adanya pengakuan dunia terhadap kaligrafi Arab, seni ini diharapkan semakin mendapat perhatian dan terus berkembang sebagai bentuk ekspresi budaya yang penuh makna.(Courtesy picture:Ilustrasi penulis)