Krisis Sayap Indah: Ancaman Hilangnya Kupu-Kupu di Tengah Pusaran Pembangunan

Last Updated: May 6, 2025By Tags:

Jakarta, Sofund.news – Dalam dua dekade terakhir, populasi kupu-kupu mengalami penurunan drastis di berbagai penjuru dunia. Di Amerika Serikat, studi yang dipublikasikan dalam jurnal Science mencatat bahwa selama kurun waktu 2000 hingga 2020, populasi kupu-kupu berkurang hingga 22 persen. Kondisi serupa juga ditemukan di Indonesia, di mana sejumlah spesies kupu-kupu mulai menghadapi ancaman kepunahan yang serius.

Noor Farikhah Haneda, Guru Besar dari Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, menyuarakan keprihatinannya atas fenomena ini. Ia menjelaskan bahwa kupu-kupu bukan hanya makhluk indah yang mempercantik alam, tetapi memiliki peran vital dalam sistem ekologi, khususnya dalam rantai makanan dan proses penyerbukan tanaman. Ketika populasi kupu-kupu menurun, kemampuan tanaman untuk berkembang biak pun ikut terdampak, yang pada akhirnya berpengaruh pada ketahanan pangan dan keseimbangan ekosistem.

Menurut Prof. Noor, ada beberapa faktor utama yang menyebabkan menyusutnya jumlah kupu-kupu, antara lain polusi udara, perubahan iklim, dan berkurangnya tanaman pakan serta tanaman inang. Ia menyebutkan bahwa kupu-kupu sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Meskipun beberapa spesies dapat beradaptasi terhadap polusi, sebagian besar lainnya justru sangat rentan dan tidak mampu bertahan. Ia menegaskan bahwa kualitas habitat yang terus menurun menjadi pemicu utama berkurangnya populasi serangga penyerbuk ini.

Kupu-kupu memang menjadikan hutan sebagai rumah utama, namun mereka juga aktif di area terbuka yang mendapat sinar matahari, termasuk di lingkungan pemukiman manusia. Oleh karena itu, kerusakan ekosistem, baik di hutan maupun wilayah urban, sama-sama memberikan dampak signifikan terhadap kelangsungan hidup mereka.

Krisis populasi kupu-kupu bukan hanya isu estetika lingkungan, melainkan juga krisis ekologis. Hilangnya kupu-kupu akan memperlemah proses alami seperti penyerbukan, yang sangat penting dalam siklus pertumbuhan tanaman. Sebagai bentuk respons, Prof. Noor mengusulkan dua solusi utama. Untuk jangka pendek, penyediaan cairan madu di beberapa titik bisa menjadi alternatif sumber energi bagi kupu-kupu, seperti yang telah dilakukan di kawasan Kampus IPB Dramaga. Sedangkan untuk solusi jangka panjang, ia mendorong penanaman tanaman berbunga yang kaya nektar, demi menciptakan ekosistem berkelanjutan yang ramah bagi kupu-kupu.

Namun, Prof. Noor juga mengakui adanya tantangan besar dalam menyeimbangkan pembangunan dan pelestarian alam. Pembangunan yang pesat seringkali membawa polusi dan merusak habitat alami serangga. Karena itu, ia menggarisbawahi pentingnya menghadirkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai bagian dari solusi. Indonesia sendiri telah memiliki sejumlah regulasi terkait penyediaan RTH, seperti UU No. 26 Tahun 2007 yang mengharuskan minimal 30% wilayah kota dialokasikan untuk ruang hijau, serta beberapa peraturan turunan lainnya yang mengatur keberadaan hutan kota.

Meski kerangka hukum telah tersedia, Prof. Noor menegaskan bahwa kunci utama keberhasilan pelestarian tetap terletak pada implementasi dan pengawasan di lapangan. Ia mengajak pemerintah daerah untuk lebih ketat dalam mengawasi kawasan industri dan memastikan bahwa kewajiban penyediaan RTH benar-benar dijalankan.

Dengan langkah konkret dan kebijakan yang berpihak pada pelestarian lingkungan, diharapkan kupu-kupu sebagai indikator kesehatan ekosistem masih bisa terus terbang bebas, membawa harapan bagi keanekaragaman hayati di tengah derasnya arus pembangunan. (Courtsey Picture : Ilustrasi Penulis)

Krisis Sayap Indah: Ancaman Hilangnya Kupu-Kupu di Tengah Pusaran Pembangunan

Last Updated: May 6, 2025By Tags:

Jakarta, Sofund.news – Dalam dua dekade terakhir, populasi kupu-kupu mengalami penurunan drastis di berbagai penjuru dunia. Di Amerika Serikat, studi yang dipublikasikan dalam jurnal Science mencatat bahwa selama kurun waktu 2000 hingga 2020, populasi kupu-kupu berkurang hingga 22 persen. Kondisi serupa juga ditemukan di Indonesia, di mana sejumlah spesies kupu-kupu mulai menghadapi ancaman kepunahan yang serius.

Noor Farikhah Haneda, Guru Besar dari Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, menyuarakan keprihatinannya atas fenomena ini. Ia menjelaskan bahwa kupu-kupu bukan hanya makhluk indah yang mempercantik alam, tetapi memiliki peran vital dalam sistem ekologi, khususnya dalam rantai makanan dan proses penyerbukan tanaman. Ketika populasi kupu-kupu menurun, kemampuan tanaman untuk berkembang biak pun ikut terdampak, yang pada akhirnya berpengaruh pada ketahanan pangan dan keseimbangan ekosistem.

Menurut Prof. Noor, ada beberapa faktor utama yang menyebabkan menyusutnya jumlah kupu-kupu, antara lain polusi udara, perubahan iklim, dan berkurangnya tanaman pakan serta tanaman inang. Ia menyebutkan bahwa kupu-kupu sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Meskipun beberapa spesies dapat beradaptasi terhadap polusi, sebagian besar lainnya justru sangat rentan dan tidak mampu bertahan. Ia menegaskan bahwa kualitas habitat yang terus menurun menjadi pemicu utama berkurangnya populasi serangga penyerbuk ini.

Kupu-kupu memang menjadikan hutan sebagai rumah utama, namun mereka juga aktif di area terbuka yang mendapat sinar matahari, termasuk di lingkungan pemukiman manusia. Oleh karena itu, kerusakan ekosistem, baik di hutan maupun wilayah urban, sama-sama memberikan dampak signifikan terhadap kelangsungan hidup mereka.

Krisis populasi kupu-kupu bukan hanya isu estetika lingkungan, melainkan juga krisis ekologis. Hilangnya kupu-kupu akan memperlemah proses alami seperti penyerbukan, yang sangat penting dalam siklus pertumbuhan tanaman. Sebagai bentuk respons, Prof. Noor mengusulkan dua solusi utama. Untuk jangka pendek, penyediaan cairan madu di beberapa titik bisa menjadi alternatif sumber energi bagi kupu-kupu, seperti yang telah dilakukan di kawasan Kampus IPB Dramaga. Sedangkan untuk solusi jangka panjang, ia mendorong penanaman tanaman berbunga yang kaya nektar, demi menciptakan ekosistem berkelanjutan yang ramah bagi kupu-kupu.

Namun, Prof. Noor juga mengakui adanya tantangan besar dalam menyeimbangkan pembangunan dan pelestarian alam. Pembangunan yang pesat seringkali membawa polusi dan merusak habitat alami serangga. Karena itu, ia menggarisbawahi pentingnya menghadirkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai bagian dari solusi. Indonesia sendiri telah memiliki sejumlah regulasi terkait penyediaan RTH, seperti UU No. 26 Tahun 2007 yang mengharuskan minimal 30% wilayah kota dialokasikan untuk ruang hijau, serta beberapa peraturan turunan lainnya yang mengatur keberadaan hutan kota.

Meski kerangka hukum telah tersedia, Prof. Noor menegaskan bahwa kunci utama keberhasilan pelestarian tetap terletak pada implementasi dan pengawasan di lapangan. Ia mengajak pemerintah daerah untuk lebih ketat dalam mengawasi kawasan industri dan memastikan bahwa kewajiban penyediaan RTH benar-benar dijalankan.

Dengan langkah konkret dan kebijakan yang berpihak pada pelestarian lingkungan, diharapkan kupu-kupu sebagai indikator kesehatan ekosistem masih bisa terus terbang bebas, membawa harapan bagi keanekaragaman hayati di tengah derasnya arus pembangunan. (Courtsey Picture : Ilustrasi Penulis)