Lontong Cap Go Meh: Lebih dari Sekadar Hidangan, Sarat Makna dan Tradisi
Jakarta, Sofund.news – Cap Go Meh merupakan perayaan yang jatuh pada hari ke-15 setelah Tahun Baru Imlek. Pada tahun 2025, perayaan ini berlangsung pada 12 Februari. Sama seperti perayaan Imlek yang identik dengan berbagai hidangan khas, Cap Go Meh juga dirayakan dengan makanan istimewa, salah satunya adalah lontong Cap Go Meh.
Hidangan ini tidak hanya lezat, tetapi juga memiliki makna filosofis yang dalam. Setiap bahan yang digunakan dalam lontong Cap Go Meh melambangkan harapan akan keberuntungan dan kesejahteraan. Berikut beberapa fakta menarik tentang hidangan khas ini:
1. Perpaduan Budaya Jawa dan Tionghoa
Lontong Cap Go Meh pertama kali muncul di pesisir Jawa, tepatnya di Semarang, pada abad ke-19. Saat itu, Semarang menjadi pusat perdagangan penting di Hindia Belanda dan menjadi tempat tinggal bagi banyak imigran Tionghoa. Terjalinnya pernikahan antara pendatang dari Tiongkok dan masyarakat Jawa menghasilkan akulturasi budaya yang juga tercermin dalam kuliner.
Dalam tradisi Tionghoa, Cap Go Meh biasanya dirayakan dengan menyantap yuanxiao atau kue beras bulat. Namun, karena sulit menemukan bahan pembuatnya di tanah Jawa, masyarakat Tionghoa menggantinya dengan lontong yang lebih mudah didapat. Inilah cikal bakal lahirnya lontong Cap Go Meh yang kita kenal saat ini.
2. Makna Filosofis di Balik Setiap Bahan
Lontong Cap Go Meh bukan sekadar hidangan, tetapi juga simbol harapan. Lontong yang berbentuk panjang melambangkan umur yang panjang dan kelancaran hidup. Hidangan ini juga dilengkapi dengan telur, yang dalam budaya Tionghoa melambangkan keberuntungan dan kesuburan.
Kuah santan berwarna kuning keemasan mencerminkan kemakmuran, sementara tambahan lauk seperti opor ayam dan sambal goreng melengkapi cita rasa sekaligus makna yang mendalam. Tradisi menyantap lontong Cap Go Meh menjadi bagian dari harapan agar kehidupan di tahun yang baru penuh berkah dan kebahagiaan.
3. Terinspirasi dari Tradisi Lebaran Jawa
Penyajian lontong Cap Go Meh memiliki kemiripan dengan opor ayam yang biasa disajikan dalam perayaan Idul Fitri. Sejarah mencatat bahwa pada abad ke-19, masyarakat Tionghoa yang tinggal di Jawa melihat tradisi umat Muslim dalam menyantap ketupat dan opor ayam saat Lebaran.
Pada hari ke-15 setelah Idul Fitri, masyarakat Jawa memiliki tradisi Lebaran Kupat, di mana mereka menyantap ketupat dan lauk berkuah santan bersama keluarga. Tradisi ini kemudian menginspirasi masyarakat Tionghoa untuk menciptakan hidangan yang mirip, yang kini dikenal sebagai lontong Cap Go Meh.
4. Penyajian yang Harus Penuh sebagai Simbol Kemakmuran
Selain bahan-bahannya yang penuh makna, cara penyajian lontong Cap Go Meh juga memiliki filosofi tersendiri. Hidangan ini sebaiknya disajikan dalam porsi penuh, karena dalam budaya Tionghoa, menyantap lontong Cap Go Meh berarti mengungkapkan harapan akan kelimpahan rezeki.
Tradisi ini juga dipengaruhi oleh budaya Jawa, di mana makanan dan minuman sering disajikan dalam jumlah banyak sebagai bentuk syukur atas berkah yang diberikan oleh Tuhan.
5. Variasi Lontong Cap Go Meh di Berbagai Daerah
Meskipun merupakan hidangan khas peranakan, lontong Cap Go Meh memiliki variasi penyajian di berbagai daerah. Di Semarang, lontong ini biasanya disajikan dengan ayam opor dan sambal goreng hati. Beberapa orang juga menambahkan sate ayam dan serundeng sebagai pelengkap.
Di Surabaya, lontong Cap Go Meh sering dilengkapi dengan telur dan bumbu petis yang khas. Sementara itu, di Singkawang, Kalimantan Barat, daging ayam dalam hidangan ini sering diganti dengan daging babi atau ikan laut, sesuai dengan kebiasaan kuliner setempat.
Dengan perpaduan budaya dan makna mendalam di balik setiap bahan dan cara penyajiannya, lontong Cap Go Meh bukan sekadar hidangan, melainkan simbol keberuntungan dan kesejahteraan bagi mereka yang merayakannya.(Courtesy picture:Ilustrasi lontong Cap Go Meh)
Lontong Cap Go Meh: Lebih dari Sekadar Hidangan, Sarat Makna dan Tradisi
Jakarta, Sofund.news – Cap Go Meh merupakan perayaan yang jatuh pada hari ke-15 setelah Tahun Baru Imlek. Pada tahun 2025, perayaan ini berlangsung pada 12 Februari. Sama seperti perayaan Imlek yang identik dengan berbagai hidangan khas, Cap Go Meh juga dirayakan dengan makanan istimewa, salah satunya adalah lontong Cap Go Meh.
Hidangan ini tidak hanya lezat, tetapi juga memiliki makna filosofis yang dalam. Setiap bahan yang digunakan dalam lontong Cap Go Meh melambangkan harapan akan keberuntungan dan kesejahteraan. Berikut beberapa fakta menarik tentang hidangan khas ini:
1. Perpaduan Budaya Jawa dan Tionghoa
Lontong Cap Go Meh pertama kali muncul di pesisir Jawa, tepatnya di Semarang, pada abad ke-19. Saat itu, Semarang menjadi pusat perdagangan penting di Hindia Belanda dan menjadi tempat tinggal bagi banyak imigran Tionghoa. Terjalinnya pernikahan antara pendatang dari Tiongkok dan masyarakat Jawa menghasilkan akulturasi budaya yang juga tercermin dalam kuliner.
Dalam tradisi Tionghoa, Cap Go Meh biasanya dirayakan dengan menyantap yuanxiao atau kue beras bulat. Namun, karena sulit menemukan bahan pembuatnya di tanah Jawa, masyarakat Tionghoa menggantinya dengan lontong yang lebih mudah didapat. Inilah cikal bakal lahirnya lontong Cap Go Meh yang kita kenal saat ini.
2. Makna Filosofis di Balik Setiap Bahan
Lontong Cap Go Meh bukan sekadar hidangan, tetapi juga simbol harapan. Lontong yang berbentuk panjang melambangkan umur yang panjang dan kelancaran hidup. Hidangan ini juga dilengkapi dengan telur, yang dalam budaya Tionghoa melambangkan keberuntungan dan kesuburan.
Kuah santan berwarna kuning keemasan mencerminkan kemakmuran, sementara tambahan lauk seperti opor ayam dan sambal goreng melengkapi cita rasa sekaligus makna yang mendalam. Tradisi menyantap lontong Cap Go Meh menjadi bagian dari harapan agar kehidupan di tahun yang baru penuh berkah dan kebahagiaan.
3. Terinspirasi dari Tradisi Lebaran Jawa
Penyajian lontong Cap Go Meh memiliki kemiripan dengan opor ayam yang biasa disajikan dalam perayaan Idul Fitri. Sejarah mencatat bahwa pada abad ke-19, masyarakat Tionghoa yang tinggal di Jawa melihat tradisi umat Muslim dalam menyantap ketupat dan opor ayam saat Lebaran.
Pada hari ke-15 setelah Idul Fitri, masyarakat Jawa memiliki tradisi Lebaran Kupat, di mana mereka menyantap ketupat dan lauk berkuah santan bersama keluarga. Tradisi ini kemudian menginspirasi masyarakat Tionghoa untuk menciptakan hidangan yang mirip, yang kini dikenal sebagai lontong Cap Go Meh.
4. Penyajian yang Harus Penuh sebagai Simbol Kemakmuran
Selain bahan-bahannya yang penuh makna, cara penyajian lontong Cap Go Meh juga memiliki filosofi tersendiri. Hidangan ini sebaiknya disajikan dalam porsi penuh, karena dalam budaya Tionghoa, menyantap lontong Cap Go Meh berarti mengungkapkan harapan akan kelimpahan rezeki.
Tradisi ini juga dipengaruhi oleh budaya Jawa, di mana makanan dan minuman sering disajikan dalam jumlah banyak sebagai bentuk syukur atas berkah yang diberikan oleh Tuhan.
5. Variasi Lontong Cap Go Meh di Berbagai Daerah
Meskipun merupakan hidangan khas peranakan, lontong Cap Go Meh memiliki variasi penyajian di berbagai daerah. Di Semarang, lontong ini biasanya disajikan dengan ayam opor dan sambal goreng hati. Beberapa orang juga menambahkan sate ayam dan serundeng sebagai pelengkap.
Di Surabaya, lontong Cap Go Meh sering dilengkapi dengan telur dan bumbu petis yang khas. Sementara itu, di Singkawang, Kalimantan Barat, daging ayam dalam hidangan ini sering diganti dengan daging babi atau ikan laut, sesuai dengan kebiasaan kuliner setempat.
Dengan perpaduan budaya dan makna mendalam di balik setiap bahan dan cara penyajiannya, lontong Cap Go Meh bukan sekadar hidangan, melainkan simbol keberuntungan dan kesejahteraan bagi mereka yang merayakannya.(Courtesy picture:Ilustrasi lontong Cap Go Meh)