Rekor Terendah Es Laut Global: Dampak Pemanasan dan Perubahan Iklim

Last Updated: March 10, 2025By Tags: , , ,

Sofund.news – Pengukuran berbasis satelit yang dilakukan oleh layanan iklim Uni Eropa, Copernicus, menunjukkan bahwa luas total es yang menutupi lautan pada Februari 2025 mencapai titik terendah sepanjang sejarah pencatatan. Data yang dihimpun mengungkapkan bahwa suhu rata-rata global pada bulan tersebut meningkat sebesar 1,59 derajat Celsius dibandingkan dengan rata-rata suhu pra-industri. Kondisi ini menjadikan Februari 2025 sebagai bulan Februari terpanas ketiga yang pernah tercatat.

Peningkatan suhu ini berdampak langsung pada berkurangnya es laut di Arktik dan Antartika. Di wilayah Arktik, lapisan es mengalami penyusutan yang setara dengan luas daratan Inggris, sehingga jumlah total es di kawasan ini tetap berada 8 persen di bawah rata-rata sepanjang Februari 2025. Fenomena ini menandai bulan ketiga berturut-turut di mana Arktik mencatatkan rekor terendah dalam hal luasan es yang mencair. Sementara itu, di Antartika, tren serupa juga terjadi, dengan es laut yang mengalami penurunan signifikan selama dua tahun terakhir.

Meskipun sempat mengalami pemulihan ke tingkat mendekati rata-rata pada Desember 2024, es di Antartika kembali mengalami penyusutan drastis. Pada Februari 2025, luas es laut di wilayah tersebut tercatat berada 26 persen di bawah rata-rata, menjadikannya sebagai titik terendah sepanjang pencatatan. Hilangnya lapisan es ini semakin memperparah kondisi pemanasan global yang sedang berlangsung.

Dampak dari mencairnya es laut di kedua kutub ini tidak hanya mengancam ekosistem polar tetapi juga memicu berbagai perubahan dalam sistem iklim global. Ketika es mencair, lapisan es di bawahnya semakin terekspos pada air laut yang lebih hangat, yang mempercepat pencairan lebih lanjut. Selain itu, berkurangnya lapisan es juga mengurangi kemampuan Bumi dalam memantulkan radiasi matahari kembali ke luar angkasa, sehingga meningkatkan suhu global secara keseluruhan.

Selain itu, pencairan es laut juga berpotensi melemahkan sistem arus laut global. Arus ini bergantung pada keberadaan air asin padat yang dihasilkan saat es laut terbentuk. Jika sistem ini terganggu, maka distribusi panas di seluruh dunia dapat terhambat, berpotensi memicu perubahan cuaca ekstrem yang lebih sering terjadi.

Penurunan luas es laut yang terjadi secara terus-menerus ini menjadi peringatan bagi dunia akan dampak serius dari pemanasan global. Para ilmuwan menekankan pentingnya langkah-langkah mitigasi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca guna memperlambat laju pemanasan dan melindungi keseimbangan ekosistem di wilayah kutub. Jika tren ini terus berlanjut, konsekuensi terhadap lingkungan dan kehidupan manusia akan semakin sulit untuk dihindari.(Courtesy picture:ilustrasi arktik/university of Gothenburg))

Rekor Terendah Es Laut Global: Dampak Pemanasan dan Perubahan Iklim

Last Updated: March 10, 2025By Tags: , , ,

Sofund.news – Pengukuran berbasis satelit yang dilakukan oleh layanan iklim Uni Eropa, Copernicus, menunjukkan bahwa luas total es yang menutupi lautan pada Februari 2025 mencapai titik terendah sepanjang sejarah pencatatan. Data yang dihimpun mengungkapkan bahwa suhu rata-rata global pada bulan tersebut meningkat sebesar 1,59 derajat Celsius dibandingkan dengan rata-rata suhu pra-industri. Kondisi ini menjadikan Februari 2025 sebagai bulan Februari terpanas ketiga yang pernah tercatat.

Peningkatan suhu ini berdampak langsung pada berkurangnya es laut di Arktik dan Antartika. Di wilayah Arktik, lapisan es mengalami penyusutan yang setara dengan luas daratan Inggris, sehingga jumlah total es di kawasan ini tetap berada 8 persen di bawah rata-rata sepanjang Februari 2025. Fenomena ini menandai bulan ketiga berturut-turut di mana Arktik mencatatkan rekor terendah dalam hal luasan es yang mencair. Sementara itu, di Antartika, tren serupa juga terjadi, dengan es laut yang mengalami penurunan signifikan selama dua tahun terakhir.

Meskipun sempat mengalami pemulihan ke tingkat mendekati rata-rata pada Desember 2024, es di Antartika kembali mengalami penyusutan drastis. Pada Februari 2025, luas es laut di wilayah tersebut tercatat berada 26 persen di bawah rata-rata, menjadikannya sebagai titik terendah sepanjang pencatatan. Hilangnya lapisan es ini semakin memperparah kondisi pemanasan global yang sedang berlangsung.

Dampak dari mencairnya es laut di kedua kutub ini tidak hanya mengancam ekosistem polar tetapi juga memicu berbagai perubahan dalam sistem iklim global. Ketika es mencair, lapisan es di bawahnya semakin terekspos pada air laut yang lebih hangat, yang mempercepat pencairan lebih lanjut. Selain itu, berkurangnya lapisan es juga mengurangi kemampuan Bumi dalam memantulkan radiasi matahari kembali ke luar angkasa, sehingga meningkatkan suhu global secara keseluruhan.

Selain itu, pencairan es laut juga berpotensi melemahkan sistem arus laut global. Arus ini bergantung pada keberadaan air asin padat yang dihasilkan saat es laut terbentuk. Jika sistem ini terganggu, maka distribusi panas di seluruh dunia dapat terhambat, berpotensi memicu perubahan cuaca ekstrem yang lebih sering terjadi.

Penurunan luas es laut yang terjadi secara terus-menerus ini menjadi peringatan bagi dunia akan dampak serius dari pemanasan global. Para ilmuwan menekankan pentingnya langkah-langkah mitigasi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca guna memperlambat laju pemanasan dan melindungi keseimbangan ekosistem di wilayah kutub. Jika tren ini terus berlanjut, konsekuensi terhadap lingkungan dan kehidupan manusia akan semakin sulit untuk dihindari.(Courtesy picture:ilustrasi arktik/university of Gothenburg))