Samuel Wattimena: DAG DIG DUG, Bukti Karya Seni Kreatif yang Tak Lekang oleh Waktu

Last Updated: February 17, 2025By Tags: , ,
Samuel Wattimena

(Jakarta, News.Sofund.id) Samuel Wattimena. Jika suatu pengalaman tidak dapat diungkapkan dalam kata-kata, maka pengalaman tersebut berisiko menghilang tanpa meninggalkan jejak bagi generasi mendatang. Tanpa dokumentasi dalam bentuk bahasa, pengalaman itu tidak bisa dimaknai lebih dalam, dinikmati kembali, atau dipelajari oleh orang lain. Terlebih lagi, generasi muda akan kehilangan kesempatan untuk memahami dan menggali hikmah dari pengalaman tersebut.

Hal inilah yang menjadi salah satu alasan utama di balik digelarnya kembali pementasan Dag Dig Dug, sebuah karya teater legendaris dari maestro sastra dan drama Indonesia, Putu Wijaya. Samuel Wattimena, yang saat ini menjabat sebagai Anggota DPR RI Komisi VII dengan cakupan bidang Ekonomi Kreatif, Sarana Publikasi, Perindustrian, UMKM, dan Pariwisata, menyampaikan pandangannya mengenai pentingnya pementasan ini. Menurutnya, Dag Dig Dug merupakan bukti bagaimana kesenian dapat terus hidup dan bertahan seiring berjalannya waktu, tetap relevan, serta dapat dinikmati oleh berbagai generasi.

Pementasan Dag Dig Dug tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai media edukasi yang memperkaya wawasan penonton sekaligus memberi ruang bagi para seniman untuk berekspresi dan berkarya. Samuel Wattimena sendiri mengungkapkan bahwa pementasan ini memiliki makna yang sangat spesial baginya. Selama lebih dari empat dekade—tepatnya 46 tahun—ia telah menggeluti dunia mode sebagai seorang perancang busana. Dalam perjalanan kariernya, ia kerap berkolaborasi dengan berbagai pelaku industri seni. Oleh karena itu, keterlibatannya dalam pementasan Dag Dig Dug menjadi bentuk apresiasi dan kontribusinya dalam mendukung dunia seni pertunjukan di Indonesia.

Pementasan ini akan berlangsung pada tanggal 25-26 Januari 2025 di Komunitas Teater Salihara, Jakarta Selatan. Acara ini merupakan hasil kerja sama antara Teater Populer dan Bakti Budaya Djarum Foundation. Keberadaan lembaga-lembaga yang peduli terhadap kelangsungan seni budaya seperti ini menjadi sangat penting dalam menjaga eksistensi seni pertunjukan di Indonesia.

Sebagai informasi, Dag Dig Dug pertama kali dipentaskan pada tahun 1977 dan hingga kini masih menjadi karya yang relevan dengan berbagai persoalan sosial di Indonesia. Drama ini mengisahkan kehidupan sepasang suami-istri yang mengelola rumah indekosan. Melalui kisah sederhana tersebut, Putu Wijaya menghadirkan kritik sosial yang tajam terhadap berbagai isu yang masih relevan hingga saat ini. Beberapa di antaranya adalah persoalan demokrasi, ketidakadilan sosial, eksploitasi terhadap rakyat kecil, serta praktik korupsi yang merajalela, termasuk dalam sektor industri semen. Semua isu tersebut dikemas dalam narasi yang dekat dengan kehidupan masyarakat sehari-hari, menjadikan Dag Dig Dug sebagai salah satu naskah drama yang tetap hidup dan bermakna bagi berbagai generasi.

Dalam pementasan tahun 2025 ini, Dag Dig Dug diproduseri oleh Paquita Widjaja dan Samuel Wattimena, dengan Taba Sancabakhtiar sebagai co-produser. Sejumlah aktor dan aktris ternama juga turut ambil bagian dalam pementasan ini, termasuk Slamet Rahardjo, Niniek L. Karim, Donny Damara, Reza Rahadian, Kiki Narendra, dan Jose Rizal. Keberadaan aktor-aktor berpengalaman ini semakin menambah bobot pementasan, memastikan bahwa pesan-pesan yang ingin disampaikan dalam naskah ini dapat diterima dengan baik oleh penonton.

Melalui pementasan ini, diharapkan pemerintah dapat semakin menyadari pentingnya peran seni dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Kebijakan yang berpihak pada industri kreatif, serta sistem pendukung yang kokoh dari negara, menjadi faktor kunci dalam memastikan bahwa seni pertunjukan dapat terus berkembang. Kolaborasi antara pemerintah, pelaku industri seni, dan masyarakat luas perlu terus diperkuat agar seni dapat menjadi ruang rekreatif sekaligus edukatif yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Samuel Wattimena menutup pernyataannya dengan harapan agar negara tidak hanya menjadi penonton dalam perkembangan seni pertunjukan, tetapi juga aktif berkontribusi dalam menghadirkan kebijakan yang mendukung para seniman. Dengan adanya dukungan yang memadai, seni Indonesia tidak hanya bertahan tetapi juga berkembang, memberi manfaat bagi masyarakat, dan tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya bangsa.

Samuel Wattimena: DAG DIG DUG, Bukti Karya Seni Kreatif yang Tak Lekang oleh Waktu

Last Updated: February 17, 2025By Tags: , ,
Samuel Wattimena

(Jakarta, News.Sofund.id) Samuel Wattimena. Jika suatu pengalaman tidak dapat diungkapkan dalam kata-kata, maka pengalaman tersebut berisiko menghilang tanpa meninggalkan jejak bagi generasi mendatang. Tanpa dokumentasi dalam bentuk bahasa, pengalaman itu tidak bisa dimaknai lebih dalam, dinikmati kembali, atau dipelajari oleh orang lain. Terlebih lagi, generasi muda akan kehilangan kesempatan untuk memahami dan menggali hikmah dari pengalaman tersebut.

Hal inilah yang menjadi salah satu alasan utama di balik digelarnya kembali pementasan Dag Dig Dug, sebuah karya teater legendaris dari maestro sastra dan drama Indonesia, Putu Wijaya. Samuel Wattimena, yang saat ini menjabat sebagai Anggota DPR RI Komisi VII dengan cakupan bidang Ekonomi Kreatif, Sarana Publikasi, Perindustrian, UMKM, dan Pariwisata, menyampaikan pandangannya mengenai pentingnya pementasan ini. Menurutnya, Dag Dig Dug merupakan bukti bagaimana kesenian dapat terus hidup dan bertahan seiring berjalannya waktu, tetap relevan, serta dapat dinikmati oleh berbagai generasi.

Pementasan Dag Dig Dug tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai media edukasi yang memperkaya wawasan penonton sekaligus memberi ruang bagi para seniman untuk berekspresi dan berkarya. Samuel Wattimena sendiri mengungkapkan bahwa pementasan ini memiliki makna yang sangat spesial baginya. Selama lebih dari empat dekade—tepatnya 46 tahun—ia telah menggeluti dunia mode sebagai seorang perancang busana. Dalam perjalanan kariernya, ia kerap berkolaborasi dengan berbagai pelaku industri seni. Oleh karena itu, keterlibatannya dalam pementasan Dag Dig Dug menjadi bentuk apresiasi dan kontribusinya dalam mendukung dunia seni pertunjukan di Indonesia.

Pementasan ini akan berlangsung pada tanggal 25-26 Januari 2025 di Komunitas Teater Salihara, Jakarta Selatan. Acara ini merupakan hasil kerja sama antara Teater Populer dan Bakti Budaya Djarum Foundation. Keberadaan lembaga-lembaga yang peduli terhadap kelangsungan seni budaya seperti ini menjadi sangat penting dalam menjaga eksistensi seni pertunjukan di Indonesia.

Sebagai informasi, Dag Dig Dug pertama kali dipentaskan pada tahun 1977 dan hingga kini masih menjadi karya yang relevan dengan berbagai persoalan sosial di Indonesia. Drama ini mengisahkan kehidupan sepasang suami-istri yang mengelola rumah indekosan. Melalui kisah sederhana tersebut, Putu Wijaya menghadirkan kritik sosial yang tajam terhadap berbagai isu yang masih relevan hingga saat ini. Beberapa di antaranya adalah persoalan demokrasi, ketidakadilan sosial, eksploitasi terhadap rakyat kecil, serta praktik korupsi yang merajalela, termasuk dalam sektor industri semen. Semua isu tersebut dikemas dalam narasi yang dekat dengan kehidupan masyarakat sehari-hari, menjadikan Dag Dig Dug sebagai salah satu naskah drama yang tetap hidup dan bermakna bagi berbagai generasi.

Dalam pementasan tahun 2025 ini, Dag Dig Dug diproduseri oleh Paquita Widjaja dan Samuel Wattimena, dengan Taba Sancabakhtiar sebagai co-produser. Sejumlah aktor dan aktris ternama juga turut ambil bagian dalam pementasan ini, termasuk Slamet Rahardjo, Niniek L. Karim, Donny Damara, Reza Rahadian, Kiki Narendra, dan Jose Rizal. Keberadaan aktor-aktor berpengalaman ini semakin menambah bobot pementasan, memastikan bahwa pesan-pesan yang ingin disampaikan dalam naskah ini dapat diterima dengan baik oleh penonton.

Melalui pementasan ini, diharapkan pemerintah dapat semakin menyadari pentingnya peran seni dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Kebijakan yang berpihak pada industri kreatif, serta sistem pendukung yang kokoh dari negara, menjadi faktor kunci dalam memastikan bahwa seni pertunjukan dapat terus berkembang. Kolaborasi antara pemerintah, pelaku industri seni, dan masyarakat luas perlu terus diperkuat agar seni dapat menjadi ruang rekreatif sekaligus edukatif yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Samuel Wattimena menutup pernyataannya dengan harapan agar negara tidak hanya menjadi penonton dalam perkembangan seni pertunjukan, tetapi juga aktif berkontribusi dalam menghadirkan kebijakan yang mendukung para seniman. Dengan adanya dukungan yang memadai, seni Indonesia tidak hanya bertahan tetapi juga berkembang, memberi manfaat bagi masyarakat, dan tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya bangsa.