Sarung Khas Semarang: Samuel Wattimena Ajak Pembatik dan Seniman Promosikan Identitas Bangsa

Last Updated: March 24, 2025By Tags: , ,

Semarang, Sofund.news – Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Samuel Wattimena, berkomitmen untuk mengangkat sarung sebagai identitas bangsa dan ikon fesyen nasional. Langkah ini dimulai dari Kota Semarang, yang telah ditetapkan sebagai kota fesyen. Samuel menyampaikan hal tersebut saat kegiatan reses bersama para pegiat seni tradisional, Indonesian Fashion Chamber (IFC), dan komunitas Denok-Kenang di Semarang pada Minggu.

Samuel, yang merupakan legislator dari Daerah Pemilihan Jawa Tengah 1, menekankan pentingnya sosialisasi sarung sebagai bagian dari identitas budaya Indonesia. Ia merasa bersyukur karena dalam kegiatan tersebut, para peserta dari IFC Kota Semarang dan Denok-Kenang kompak mengenakan sarung batik khas Semarangan. Menurutnya, hal ini menjadi langkah awal yang baik untuk mendorong sarung menjadi bagian dari keseharian masyarakat.

“Kegiatan ini adalah upaya untuk menghadirkan sarung sebagai identitas bangsa kita. Saya yakin, jika sosialisasi seperti ini terus dilakukan, sarung akan semakin diterima dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari,” ujar Samuel.

Pemilihan Semarang sebagai titik awal tidak lepas dari status kota tersebut sebagai kota fesyen. Samuel, yang telah menekuni dunia desain fesyen sejak 1979, merasa memiliki tanggung jawab untuk memajukan Semarang sebagai pusat fesyen. Ia menegaskan bahwa fesyen, termasuk sarung, tidak boleh hanya dinikmati oleh segelintir kalangan, tetapi harus merambah ke berbagai bidang, seperti seni tari dan budaya.

“Semarang sudah ditetapkan sebagai kota fesyen, dan saya merasa memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa fesyen, termasuk sarung, bisa dinikmati oleh semua kalangan. Ini bukan hanya tentang pakaian, tetapi juga tentang melestarikan budaya kita,” jelasnya.

Samuel juga menyoroti nilai keberlanjutan (sustainability) sarung sebagai produk nasional. Menurutnya, sarung adalah jawaban untuk menghadapi masa krisis karena fleksibilitasnya. Sarung bisa dipakai oleh siapa saja, tanpa terbatas pada ukuran tubuh, serta mudah dirawat dan disimpan.

“Sarung adalah produk yang sangat ‘sustain’. Badan kita bisa membesar atau mengecil, tetapi sarung tetap bisa dipakai. Selain itu, pemeliharaan dan penyimpanannya sangat mudah. Ini membuat sarung menjadi pilihan yang tepat untuk dijadikan ikon fesyen nasional,” tambahnya.

Dalam upaya mempromosikan sarung, Samuel juga melibatkan para pembatik Semarang. Jessie Setiawati, salah satu pembatik tulis Semarang, mengaku terinspirasi untuk menciptakan motif batik sarung yang mengangkat kekayaan budaya lokal, seperti tarian tradisional Semarang.

“Sebagai pembatik tulis, saya berencana mendesain motif sarung yang terinspirasi dari tarian-tarian tradisional Semarang. Ini adalah cara saya untuk melestarikan budaya kita melalui karya batik,” kata Jessie.

Selama ini, Jessie banyak terinspirasi dari bangunan-bangunan cagar budaya di Kota Lama Semarang, seperti Gereja Blenduk dan Gedung Monod. Ia mengangkat detail-detail arsitektur, seperti ubin, tangga, teralis, jendela, dan pintu, sebagai motif batiknya.

“Motif-motif ini adalah bentuk pendokumentasian kawasan cagar budaya. Saya ingin mengangkat keindahan dan sejarah Kota Lama Semarang melalui karya batik,” ungkapnya.

Melalui kolaborasi dengan para pembatik dan pegiat seni, Samuel berharap sarung tidak hanya menjadi pakaian tradisional, tetapi juga ikon fesyen modern yang bisa diterima oleh generasi muda. Ia yakin, dengan dukungan semua pihak, sarung bisa menjadi simbol kebanggaan nasional yang mencerminkan kekayaan budaya Indonesia.

“Kita harus terus berinovasi dan mempromosikan sarung sebagai bagian dari identitas bangsa. Ini adalah tanggung jawab kita bersama untuk melestarikan dan memajukan budaya Indonesia,” tegas Samuel.

Dengan langkah-langkah ini, Samuel Wattimena berharap Semarang bisa menjadi pionir dalam mengangkat sarung sebagai ikon fesyen nasional, sekaligus memperkuat posisi Indonesia di peta fesyen global.(Courtesy picture:dok Samuel Wattimena media sosial)

Sarung Khas Semarang: Samuel Wattimena Ajak Pembatik dan Seniman Promosikan Identitas Bangsa

Last Updated: March 24, 2025By Tags: , ,

Semarang, Sofund.news – Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Samuel Wattimena, berkomitmen untuk mengangkat sarung sebagai identitas bangsa dan ikon fesyen nasional. Langkah ini dimulai dari Kota Semarang, yang telah ditetapkan sebagai kota fesyen. Samuel menyampaikan hal tersebut saat kegiatan reses bersama para pegiat seni tradisional, Indonesian Fashion Chamber (IFC), dan komunitas Denok-Kenang di Semarang pada Minggu.

Samuel, yang merupakan legislator dari Daerah Pemilihan Jawa Tengah 1, menekankan pentingnya sosialisasi sarung sebagai bagian dari identitas budaya Indonesia. Ia merasa bersyukur karena dalam kegiatan tersebut, para peserta dari IFC Kota Semarang dan Denok-Kenang kompak mengenakan sarung batik khas Semarangan. Menurutnya, hal ini menjadi langkah awal yang baik untuk mendorong sarung menjadi bagian dari keseharian masyarakat.

“Kegiatan ini adalah upaya untuk menghadirkan sarung sebagai identitas bangsa kita. Saya yakin, jika sosialisasi seperti ini terus dilakukan, sarung akan semakin diterima dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari,” ujar Samuel.

Pemilihan Semarang sebagai titik awal tidak lepas dari status kota tersebut sebagai kota fesyen. Samuel, yang telah menekuni dunia desain fesyen sejak 1979, merasa memiliki tanggung jawab untuk memajukan Semarang sebagai pusat fesyen. Ia menegaskan bahwa fesyen, termasuk sarung, tidak boleh hanya dinikmati oleh segelintir kalangan, tetapi harus merambah ke berbagai bidang, seperti seni tari dan budaya.

“Semarang sudah ditetapkan sebagai kota fesyen, dan saya merasa memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa fesyen, termasuk sarung, bisa dinikmati oleh semua kalangan. Ini bukan hanya tentang pakaian, tetapi juga tentang melestarikan budaya kita,” jelasnya.

Samuel juga menyoroti nilai keberlanjutan (sustainability) sarung sebagai produk nasional. Menurutnya, sarung adalah jawaban untuk menghadapi masa krisis karena fleksibilitasnya. Sarung bisa dipakai oleh siapa saja, tanpa terbatas pada ukuran tubuh, serta mudah dirawat dan disimpan.

“Sarung adalah produk yang sangat ‘sustain’. Badan kita bisa membesar atau mengecil, tetapi sarung tetap bisa dipakai. Selain itu, pemeliharaan dan penyimpanannya sangat mudah. Ini membuat sarung menjadi pilihan yang tepat untuk dijadikan ikon fesyen nasional,” tambahnya.

Dalam upaya mempromosikan sarung, Samuel juga melibatkan para pembatik Semarang. Jessie Setiawati, salah satu pembatik tulis Semarang, mengaku terinspirasi untuk menciptakan motif batik sarung yang mengangkat kekayaan budaya lokal, seperti tarian tradisional Semarang.

“Sebagai pembatik tulis, saya berencana mendesain motif sarung yang terinspirasi dari tarian-tarian tradisional Semarang. Ini adalah cara saya untuk melestarikan budaya kita melalui karya batik,” kata Jessie.

Selama ini, Jessie banyak terinspirasi dari bangunan-bangunan cagar budaya di Kota Lama Semarang, seperti Gereja Blenduk dan Gedung Monod. Ia mengangkat detail-detail arsitektur, seperti ubin, tangga, teralis, jendela, dan pintu, sebagai motif batiknya.

“Motif-motif ini adalah bentuk pendokumentasian kawasan cagar budaya. Saya ingin mengangkat keindahan dan sejarah Kota Lama Semarang melalui karya batik,” ungkapnya.

Melalui kolaborasi dengan para pembatik dan pegiat seni, Samuel berharap sarung tidak hanya menjadi pakaian tradisional, tetapi juga ikon fesyen modern yang bisa diterima oleh generasi muda. Ia yakin, dengan dukungan semua pihak, sarung bisa menjadi simbol kebanggaan nasional yang mencerminkan kekayaan budaya Indonesia.

“Kita harus terus berinovasi dan mempromosikan sarung sebagai bagian dari identitas bangsa. Ini adalah tanggung jawab kita bersama untuk melestarikan dan memajukan budaya Indonesia,” tegas Samuel.

Dengan langkah-langkah ini, Samuel Wattimena berharap Semarang bisa menjadi pionir dalam mengangkat sarung sebagai ikon fesyen nasional, sekaligus memperkuat posisi Indonesia di peta fesyen global.(Courtesy picture:dok Samuel Wattimena media sosial)