Tantangan Geopolitik dan Ekonomi: Asia Hadapi Tahun Penuh Risiko di 2025
(Jakarta-News.Sofund.id) Ekonomi di kawasan Asia diproyeksikan menghadapi berbagai tantangan pada 2025, baik dari dalam kawasan maupun pengaruh eksternal. Ketidakpastian kebijakan tarif Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump hingga perlambatan ekonomi di China menjadi isu utama yang memengaruhi lanskap ekonomi regional.
Secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi Asia diperkirakan melambat, terutama di Asia Utara. Perlambatan ini sebagian besar disebabkan oleh siklus teknologi yang melemah, dengan Korea Selatan dan Taiwan sebagai negara yang terdampak. Di China, pertumbuhan ekonomi diprediksi turun dari 5% menjadi 4,2%. Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Negeri Tirai Bambu mencatat level 49,1 pada awal tahun 2025, yang menandakan kontraksi. Permintaan global yang lemah dan liburan panjang Festival Musim Semi turut memengaruhi sektor manufaktur China.
Carlos Casanova, ekonom senior di Union Bancaire Privée, menyatakan bahwa tanpa langkah kebijakan fiskal dan moneter yang lebih proaktif, perlambatan ekonomi China akan sulit dihindari. Sementara itu, dukungan fiskal yang lemah selama tiga tahun terakhir membuat sejumlah perusahaan industri melaporkan penurunan laba secara berturut-turut.
Di sisi lain, Asia Tenggara, termasuk Indonesia, diperkirakan menunjukkan pertumbuhan yang lebih stabil. Namun, arah ekonomi global yang ditentukan oleh kebijakan Amerika Serikat akan menjadi faktor eksternal yang sangat memengaruhi kawasan ini. Johanna Chua, Head of Asia Pacific Economic & Market Analysis Citi Research, menilai bahwa ketidakpastian kebijakan tarif dan arah suku bunga The Fed pada tahun 2025 menjadi tantangan besar. Ia menggambarkan situasi ini sebagai “tahun rollercoaster,” di mana berbagai isu ekonomi global belum menemukan kejelasan.
Kepala Ekonom Permata Bank, Josua Pardede, mengidentifikasi tiga risiko utama yang akan memengaruhi ekonomi global pada tahun 2025: perlambatan ekonomi China, dampak pemilu global, dan ketegangan geopolitik internasional. Menurut Josua, perlambatan ekonomi China akan berdampak langsung pada kinerja ekspor Indonesia, terutama di sektor energi dan bahan mentah. Sebagai salah satu mitra dagang utama Indonesia, melemahnya ekonomi China menjadi ancaman nyata bagi stabilitas perdagangan nasional. Risiko kedua adalah pemilu di berbagai negara, termasuk Indonesia dan Amerika Serikat. Potensi terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden AS dapat membawa kebijakan yang lebih proteksionis, seperti kenaikan tarif impor terhadap produk China. Kebijakan tersebut berpotensi memicu devaluasi mata uang yuan, yang dapat melemahkan nilai tukar rupiah serta menciptakan ketidakpastian pasar dalam jangka pendek.
Ketegangan geopolitik, seperti konflik Rusia-Ukraina dan perang Israel-Palestina, menjadi risiko ketiga yang sulit diprediksi. Konflik ini diperkirakan terus memengaruhi stabilitas global, meskipun Trump, jika terpilih, diperkirakan tidak akan terlalu fokus pada konflik di Timur Tengah. Tahun 2025 diproyeksikan menjadi periode penuh tantangan bagi ekonomi Asia dan global. Kombinasi perlambatan ekonomi, ketidakpastian politik, dan dinamika geopolitik global memerlukan respons kebijakan yang adaptif dan strategis dari negara-negara di kawasan. Bagi Indonesia, mempersiapkan kebijakan yang berorientasi pada stabilitas ekonomi dan ketahanan sosial menjadi kunci untuk menghadapi perubahan ini. Dengan memanfaatkan peluang di tengah ketidakpastian, kawasan Asia dapat terus bertumbuh meskipun dihadapkan pada tantangan yang kompleks. (Courtesy picture: Ilustrasi oleh penulis)
Tantangan Geopolitik dan Ekonomi: Asia Hadapi Tahun Penuh Risiko di 2025
(Jakarta-News.Sofund.id) Ekonomi di kawasan Asia diproyeksikan menghadapi berbagai tantangan pada 2025, baik dari dalam kawasan maupun pengaruh eksternal. Ketidakpastian kebijakan tarif Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump hingga perlambatan ekonomi di China menjadi isu utama yang memengaruhi lanskap ekonomi regional.
Secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi Asia diperkirakan melambat, terutama di Asia Utara. Perlambatan ini sebagian besar disebabkan oleh siklus teknologi yang melemah, dengan Korea Selatan dan Taiwan sebagai negara yang terdampak. Di China, pertumbuhan ekonomi diprediksi turun dari 5% menjadi 4,2%. Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Negeri Tirai Bambu mencatat level 49,1 pada awal tahun 2025, yang menandakan kontraksi. Permintaan global yang lemah dan liburan panjang Festival Musim Semi turut memengaruhi sektor manufaktur China.
Carlos Casanova, ekonom senior di Union Bancaire Privée, menyatakan bahwa tanpa langkah kebijakan fiskal dan moneter yang lebih proaktif, perlambatan ekonomi China akan sulit dihindari. Sementara itu, dukungan fiskal yang lemah selama tiga tahun terakhir membuat sejumlah perusahaan industri melaporkan penurunan laba secara berturut-turut.
Di sisi lain, Asia Tenggara, termasuk Indonesia, diperkirakan menunjukkan pertumbuhan yang lebih stabil. Namun, arah ekonomi global yang ditentukan oleh kebijakan Amerika Serikat akan menjadi faktor eksternal yang sangat memengaruhi kawasan ini. Johanna Chua, Head of Asia Pacific Economic & Market Analysis Citi Research, menilai bahwa ketidakpastian kebijakan tarif dan arah suku bunga The Fed pada tahun 2025 menjadi tantangan besar. Ia menggambarkan situasi ini sebagai “tahun rollercoaster,” di mana berbagai isu ekonomi global belum menemukan kejelasan.
Kepala Ekonom Permata Bank, Josua Pardede, mengidentifikasi tiga risiko utama yang akan memengaruhi ekonomi global pada tahun 2025: perlambatan ekonomi China, dampak pemilu global, dan ketegangan geopolitik internasional. Menurut Josua, perlambatan ekonomi China akan berdampak langsung pada kinerja ekspor Indonesia, terutama di sektor energi dan bahan mentah. Sebagai salah satu mitra dagang utama Indonesia, melemahnya ekonomi China menjadi ancaman nyata bagi stabilitas perdagangan nasional. Risiko kedua adalah pemilu di berbagai negara, termasuk Indonesia dan Amerika Serikat. Potensi terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden AS dapat membawa kebijakan yang lebih proteksionis, seperti kenaikan tarif impor terhadap produk China. Kebijakan tersebut berpotensi memicu devaluasi mata uang yuan, yang dapat melemahkan nilai tukar rupiah serta menciptakan ketidakpastian pasar dalam jangka pendek.
Ketegangan geopolitik, seperti konflik Rusia-Ukraina dan perang Israel-Palestina, menjadi risiko ketiga yang sulit diprediksi. Konflik ini diperkirakan terus memengaruhi stabilitas global, meskipun Trump, jika terpilih, diperkirakan tidak akan terlalu fokus pada konflik di Timur Tengah. Tahun 2025 diproyeksikan menjadi periode penuh tantangan bagi ekonomi Asia dan global. Kombinasi perlambatan ekonomi, ketidakpastian politik, dan dinamika geopolitik global memerlukan respons kebijakan yang adaptif dan strategis dari negara-negara di kawasan. Bagi Indonesia, mempersiapkan kebijakan yang berorientasi pada stabilitas ekonomi dan ketahanan sosial menjadi kunci untuk menghadapi perubahan ini. Dengan memanfaatkan peluang di tengah ketidakpastian, kawasan Asia dapat terus bertumbuh meskipun dihadapkan pada tantangan yang kompleks. (Courtesy picture: Ilustrasi oleh penulis)